Senin, 27 Desember 2010

Memperlakukan Anak Dengan Lemah Lembut

Sebuah tragedi memilukan dan susah untuk dipahami. Seorang anak kecil tewas terbunuh oleh orang tuanya sendiri, lantaran orang tua gregetan atas tangisan sang anak yang tidak segera berhenti. Sang ayah pun “memperlihatkan” kekuatannya, sehingga darah dagingnya tersebut menghembuskan nafas terakhir, di tangan orang tuanya sendiri.

Kisah memilukan semacam ini bukan imajinatif, tetapi pernah terjadi. Sebuah tindak kekerasan orang tua di lingkungan keluarga. Yang semua terjadi karena sikap emosi dan ketidak sabaran. Padahal, tubuh mungil itu seharusnya mendapatkan belaian kasih sayang. Karena kewajiban bagi orang tua untuk memberikan bimbingan bagi anak, sebagai implementasi amanah yang dibebankan kepada orang tua. Meski saat menghadapi sang anak, tak mustahil orang tua merasa kewalahan karena perilaku yang tidak menyenangkan dari si anak. Begitulah, anak yang merupakan amanah, tetapi juga bisa menjadi sumber cobaan.

ANAK MERUPAKAN AMANAH, SEKALIGUS SUMBER COBAAN
Sebagai konsekuensi dari amanah, orang tua dituntut untuk memberikan perhatian, mencurahkannya kepada sang buah hati dengan penuh kesungguhan. Baik yang berbentuk material maupun psikis. Orang tua harus mempunyai kewajiban memberi bimbingan demi kebaikan dan keselamatan anak. Secara implisit, di dalam al Qur`an surat Tahrim ayat 6, Allah telah mengingatkan pentingnya hal ini.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

"Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka…" [at Tahrim : 6].

Setelah mengetengahkan ayat di atas, Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu mengatakan: “Ibu, ayah, guru dan masyarakat bertanggung jawab di hadapan Allah Subhanahu wa Ta'ala kelak tentang pendidikan generasi penerus mereka. Jika mereka telah melaksanakan yang terbaik, niscaya sang anak dan mereka akan bahagia di dunia dan akhirat. Tetapi apabila melalaikan pembinaannya, niscaya akan celaka, dan dosa akan berada di pundak-pundak mereka”.[1]

Anak, selain berfungsi sebagai penyejuk mata orang tuanya, juga bisa berperan menjadi fitnah yang bisa menggoda, bahkan berpotensi menjerusmuskan orang tuanya menuju jurang kenistaan. Cobaan ini bisa terjadi, lantaran fitrah orang tua yang sangat mencintai anak-anaknya, sehingga terkadang apapun yang menjadi tuntutan kebutuhan sang anak, selalu berusaha dipenuhi. Pemenuhan kebutuhan tanpa reserve ini bisa menjadi salah satu sumber fitnah ini, tak mustahil membebani kemampuan orang tua, sehingga tatkala tak terpenuhi, ia bisa menimbulkan intrik (masalah).

Allah Subhanahu wa Ta'ala di dalam al Qur`an memperingatkan :

"Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya di antara istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadapnya …" [at Taghabun : 14].

Syaikh as Sa'di menyatakan: "Ini merupakan peringatan Allah bagi kaum Mukminin agar tidak terjerumus oleh tipuan istri dan anak-anaknya. Sebab, sebagian mereka bisa berperan sebagai musuh. Dan musuh adalah sosok yang menginginkan kejelekan bagimu. Maka tugasmu adalah, mewaspadai anggota rumah tangga dari sifat tersebut. Sementara tabiat jiwa manusia berkecenderungan mencintai istri dan anak-anak…”[2]

KASIH-SAYANG MERUPAKAN PRINSIP ISLAM[3]
Sifat rahmat dalam agama kita cakupannya meliputi dunia dan akhirat, manusia, hewan, bangsa burung dan lingkungan. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :

"Dan rahmatku meliputi sagala sesuatu." [al A’raf : 156].

Dalam ayat di atas, Allah menyifati diriNya dengan sifat rahmat.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :

"Dan tiadalah Kami mengutus kamu (Muhammad), melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam". [al Anbiya’ : 107].

Kata al ‘alamin dalam ayat di atas bersifat umum, menyangkut manusia, jin, hewan, burung, binatang-binatang penghuni daratan maupun lautan. Allah l memerintahkan (kaum Muslimin) bersikap kasih-sayang dalam segala hal dan tindakan. Semakin lemah seorang makhluk (manusia), maka curahan kasih dan sayang padanya mesti lebih besar, dan kelembutan kepadanya lebih dituntut lagi. Oleh karena itu, Allah Subhanahu wa Ta'ala melarang menghardik anak yatim dan berbuat jahat kepadanya. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

"Dan adapun terhadap anak yatim, maka janganlah engkau bertindak sewenang-wenang". [adh Dhuha:9].

Siapapun menyukai kelembutan dan sikap simpatik. Hal ini sudah menjadi tabiat manusia, mereka lebih menyenangi sosok-sosok yang penampilannya sejuk tidak angker. Cerminan implemenatsi kasih-sayang ini telah dicontohkan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan beliau mencela orang yang tidak mempunyai rasa kasih-sayang pada anak-anaknya.

Imam al Bukhari menuliskan sebuah judul, bab rahmatu al waladi wa taqbilihi wa mu’anaqatihi, (bab kasih-sayang pada anak, menciumi dan memeluknya). Dalam bab ini, Imam al Bukhari membawakan sebuah hadits yang menceritakan, bahwa suatu ketika Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam kedatangan seorang sahabat yang bernama Aqra’ bin Habis. Ia melihat beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam sedang mencium al Hasan (cucunya). Maka ia berkomentar: “Aku mempunyai sepuluh orang anak, (namun) aku tidak pernah mencium satu pun dari mereka,” maka Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

مَنْ لَا يَرْحَمُ لَا يُرْحَمُ

"Barangsiapa tidak menyayangi, maka tidak disayangi".[4]

BUKAN KEKERASAN, TETAPI LEMAH-LEMBUT
Di tengah keluarga, anak-anak juga mempunyai hak layaknya anggota keluarga lainnya. Terutama hak untuk meraih hangatnya kasih-sayang dari orang tua atau pun penghuni rumah yang lain. Anak-anak meruapakan bagian dari keluarga yang mendapatkan perhatian dan kasih-sayang penuh, supaya pertumbuhan jasmani dan psikisnya baik.

Semakin lemah seorang makhluk (manusia), maka curahan kasih dan sayang, sikap lemah-lembut kepadanya, semestinya lebih besar. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan untuk mencurahkan perhatian ekstra terhadap anak-anak, wanita dan orang tua renta, atau orang yang belum tahu (jahil).

Sebagai contoh, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak mencaci-maki orang badui yang kencing di masjid, juga tidak memukulnya. Sebab orang tersebut belum mengetahui hukum dan kondisi. Oleh karena itu, beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak bersikap kasar kepadanya, justru melarang sebagian sahabat yang berniat untuk menghentikan polahnya yang tidak terpuji di masjid.[5]

Demikian juga, saat mengomentari kesalahan sahabat Mu’awiyah bin Hakam as Sulami yang mendoakan orang yang bersin di tengah shalat. Usai shalat, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam hanya menasihati : “Ini adalah shalat, tidak pantas di dalamnya diucapkan omongan-omongan dengan orang. (Yang dikerjakan) hanya mengucapkan tasbih, takbir dan membaca al Qur`an”.

Begitu melihat lembutnya teguran Nabi, maka ia pun berkata : “Aku tebus engkau dengan ayah dan ibuku. Aku tidak pernah melihat pendidik sebelum dan sesudah itu yang lebih baik cara mendidiknya dibandingkan beliau. Beliau tidak menghardikku, tidak memukulku, (juga) tidak mencaci makiku”.[6]

Itulah karakter yang mendominasi pribadi Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, menjadi uswah (teladan) bagi seorang guru, pendidik ataupun orang tua. Sifat kelembutan dan kasih-sayang menjadi simbol, apalagi kepada anak-anak.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

"Dan sungguh pada diri Rasulullah terdapat teladan yang baik bagi kalian, (yaitu) orang yang mengharapkan pertemuan dengan Allah dan mengingat Allah dengan banyak". [al Ahzab : 21].

Apabila rasa cinta, kasih sayang orang tua (dan pendidik) kurang tercurahkan pada diri anak-anak, tak mustahil sang anak akan tumbuh sebagai pribadi yang berperi laku aneh di tengah komunitasnya, yaitu kawan-kawannya. Misalnya tidak pandai berinteraksi dengan orang luar, kurang memiliki kepercayaan diri, kurang memiliki kepekaan social, tidak mampu menumbuhkan semangat gotong-royong ataupun pengorbanan. Kelak, kadang-kadang ia tidak bisa menjadi seorang ayah yang penyayang, atau pasangan yang baik interaksinya, juga tidak bisa berperan sebagai tetangga yang enggan mengganggu tetangganya, dan efek negatif lainnya. Sebab itu, merupakan kewajiban bagi orang tua untuk memenuhi kebutuhan cinta dan kasih kepada anak-anaknya.[7]

KEZHALIMAN AKAN MENDAPAT BALASAN
Islam memberlakukan juga cara mendidik anak dengan sanksi (iqab). Namun bentuk-bentuk sanksi itu merupakan pilihan terakhir, dan harus sesuai dengan rambu-rambu yang telah digariskan Islam. Orang tua (setiap muslim) tidak boleh bertindak aniaya kepada siapa saja, apalagi menjadikan anak-anak sebagai obyek pelampiasan kemarahan, kompensasi dari stress ataupun kejengkelan yang sedang menyelimuti kepala orang tua. Menghukum orang dewasa yang tidak bersalah saja dilarang keras oleh Islam, apalagi menghukum anak-anak yang masih kecil yang tidak berdosa dan tidak berbuat salah.

Tindakan semena-mena yang dilakukan oleh oknum orang tua, ibu atau ayah, baik yang bersifat fisik, emosi ataupun psikis, tetap saja termasuk dalam kategori kezhaliman, yang akan dimintai tanggung jawabnya kelak di Akhirat. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :

"Maka, demi Rabb-mu, Kami pasti akan menanyai mereka semua". [al Hijr : 92].

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menyatakan di dalam hadits hasan riwayat an Nasa-i : “Sesungguhnya Allah akan menanyakan setiap penggembala (setiap orang yang diamanahi dengan tanggung jawab) tentang apa yang menjadi tanggung jawabnya, apakah ia memeliharanya atau menyia-nyiakannya?”

Abu Mas'ud al Badri Radhiyallahu 'anhu pernah mengisahkan:

كُنْتُ أَضْرِبُ غُلَامًا لِي بِالسَّوْطِ فَسَمِعْتُ صَوْتًا مِنْ خَلْفِي اعْلَمْ أَبَا مَسْعُودٍ فَلَمْ أَفْهَمْ الصَّوْتَ مِنْ الْغَضَبِ قَالَ فَلَمَّا دَنَا مِنِّي إِذَا هُوَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَإِذَا هُوَ يَقُولُ اعْلَمْ أَبَا مَسْعُودٍ اعْلَمْ أَبَا مَسْعُودٍ قَالَ فَأَلْقَيْتُ السَّوْطَ مِنْ يَدِي فَقَالَ: اعْلَمْ أَبَا مَسْعُودٍ أَنَّ اللَّهَ أَقْدَرُ عَلَيْكَ مِنْكَ عَلَى هَذَا الْغُلَامِ قَالَ فَقُلْتُ لَا أَضْرِبُ مَمْلُوكًا بَعْدَهُ أَبَدًا. و في رواية : فَسَقَطَ مِنْ يَدِي السَّوْطُ مِنْ هَيْبَتِهِ

"Aku pernah memukul budak lelakiku. Kemudian aku mendengar suara dari belakang yang berbunyi : "Ketahuilah, wahai Abu Mas'ud," aku tidak memahami suara itu karena larut dalam emosi. Tatkala orang itu mendekat, ternyata adalah Rasulullah. Beliau berkata : "Ketahuilah, wahai Abu Mas'ud. Sesungguhnya Allah lebih kuasa menghukummu daripada dirimu terhadap budak lelaki itu”. Ia kemudian berkata : "Setelah itu, aku tidak pernah memukul seorang budak pun". Dalam riwayat lain : "Cambukku terjatuh dari tanganku karena kewibawaan beliau".[8]

EFEK NEGATIF KEKERASAN PADA ANAK DALAM RUMAH TANGGA
Orang tua yang sukses dalam mendidik anak harus menjauhi cara-cara hukuman fisik. Impian setiap pasangan adalah, anak-anak mereka tumbuh dan berkembang secara optimal, agar kelak menjadi manusia yang memiliki kepribadian matang.

Kekerasan, disamping merupakan tindakan itu sia-sia, hal itu juga berbahaya bagi pelaku dan obyeknya. Metode mendidik dengan tindakan fisik, seperti menampar, mencubit atau memukul tidak efektif memberikan penyadaran. Justru yang sangat mungkin akan menimbulkan luka batin, trauma, serta mengganggu pertumbuhan kepribadian anak. Dia akan menjadi pendiam dengan menyimpan kebencian karena karakternya sudah hancur oleh penghinaan dan ejekan [9]. Atau sebaliknya, sang anak menjadi hiperaktif atau dia justru mengalami depresi. Sangat mungkin pula terjadi, anak menjadi dendam saat beranjak dewasa nanti atas perlakuan orang tuanya yang menyakitkan.

Bahkan kemungkinan juga terjadi cacat fisik atau kematian. Pada saat itulah akan muncul penyesalan, namun nasi sudah menjadi bubur.

Layak untuk direnungkan perkataan Ibnu Khaldun : “Barangsiapa yang pola asuhannya dengan kekerasan dan otoriter, baik (ia) pelajar atau budak ataupun pelayan, (maka) kekerasaan itu akan mendominasi jiwanya. Jiwanya akan merasa sempit dalam menghadapinya. Ketekunannya akan sirna, dan menyeretnya menuju kemalasan, dusta dan tindakan keji. Yakni menampilkan diri dengan gambar yang berbeda dengan hatinya, lantaran takut ayunan tangan yang akan mengasarinya”.[10]

Oleh karenanya, untuk menjadi perhatian kita, bahwa :
1. Berinteraksi dengan anak kecil harus dilandasi dengan sifat kasih sayang dan cinta. Kekerasan hanya akan menimbulkan efek yang negatif bagi anak.
2. Islam melindungi hak-hak anak-anak.
3. Setiap apa yang kita lakukan, termasuk kezhaliman, maka perbuatan seperti ini akan mendapat balasan.

Menanamkan Kehormatan Pada Anak

Pendidikan yang buruk tanpa kontrol kontinyu di rumah, merupakan faktor dominan munculnya tindak keburukan dari anak-anak. Mereka hidup tanpa pengarahan atau pembinaan. Jalanan dan lingkungan lebih sering mempengaruhi otak dan pribadinya. Kondisi sosial yang tidak bersahabat dengan pertumbuhan anak, mengharuskan para orang tua agar meningkatkan perhatian mereka terhadap anak, terutama dalam aspek agamanya. Karena, selain sebagai karunia dari Sang Pencipta Azza wa Jalla, anak juga sekaligus sebuah tanggung jawab yang tidak boleh disia-siakan.

Oleh karena itu, proses pendidikan yang baik lagi intensif sangat urgens untuk segera dimulai sejak dini, supaya tercipta insan-insan yang menjunjung tinggi iffah. Yaitu mentalitas untuk selalu menjauhi segala sesuatu yang haram dan tidak terpuji untuk dikerjakan. Dengan ini, berarti para orang tua telah menanam investasi buat kehidupan akhiratnya, lantaran anak-anaknya shalih dan shalihah. Sebuah investasi yang tidak terukur harganya buat orang tua. Hilangnya iffah dari hati anak-anak (remaja) menimbulkan berbagai dampak sosial yang berbahaya. Para remaja enggan menikah lantaran kebutuhan biologis dapat terpenuhi dengan jalan haram.

Hancurnya keluarga, banyaknya kasus aborsi ataupun pemerkosaan, merupakan sebagian kisah memilukan yang nampak di tengah masyarakat. Belum lagi menyebarnya berbagai jenis penyakit kelamin dan penyakit jiwa, seakan menjadi pelengkap rusaknya tatanan nilai sosial yang luhur.

Ada beberapa langkah preventif untuk merealisasikan terciptanya iffah (kehormatan) pada diri anak. Yaitu:

PERINTAH MENINGKATKAN KETAKWAAN DAN KEIMANAN.
Pengekang paling efektif dalam menghadapi maksiat ialah dengan meningkatkan kualitas keimanannya kepada Allah. Caranya, sebagaimana diungkapkan sebagian ulama, "Janganlah engkau melihat kecilnya suatu dosa, tetapi ingatlah keagungan Dzat yang engkau hadapi".

Ada ulama yang ditanya tentang resep praktis agar kita dapat menjaga pandangan dari obyek yang haram, maka ia menjawab: "Dengan keyakinanmu, bahwa pandangan Allah kepadamu mendahului pandanganmu kepada obyek yang haram".

Seorang hamba yang meyakini Allah Maha Mendengar, Maha Melihat, tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi dariNya, baik di langit maupun di bumi, bahkan yang disembunyikan hati; maka sikap ini akan mengarahkan seseorang untuk memelihara lidah, anggota tubuh yang lain, serta apa yang terlintas di benaknya. Sehingga tidak ada tindak-tanduknya yang menyebabkan kemurkaan Allah.

Dalam sebuah hadits, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menceritakan tiga orang yang terjebak dalam gua, karena sebongkah batu menutup mulut gua, sehingga tidak bisa keluar darinya. Mereka bertiga bertawasul (memohon kepada Allah dengan perantaraan) dengan amalan terbaiknya, dengan harapan Allah akan menyelamatkan mereka dari kungkungan kegelapan gua.

Orang yang ketiga mengatakan: "Ya, Allah. Aku mempunyai sepupu wanita yang merupakan gadis yang paling aku senangi. Aku pernah merayunya untuk berzina dengannya, tetapi ia menolak sampai akhirnya datanglah masa paceklik. Ia pun mendatangiku (untuk minta bantuan). Aku beri ia seratus dua puluh dinar dengan syarat memberiku jalan untuk berzina dengannya. Ia pun terpaksa menyetujuinya. Sampai akhirnya, aku berada dalam posisi akan menyentuhnya, ia berkata: "Tidak halal bagimu untuk membuka ‘segel’ kecuali dengan haknya", maka aku pun merasa tidak sampai hati untuk menyetubuhinya, dan aku langsung bergegas pergi. Padahal, ia gadis yang sangat aku idamkan. Dan aku tinggalkan uang emas yang aku berikan. Ya, Allah! Jika itu aku lakukan karena ingin mengharapkan wajahMu, maka bebaskan kami dari kondisi yang meliputi kami (ini). Maka batu itupun bergeser [1]

PERNIKAHAN DINI
Ini terhitung terapi manjur dalam menciptakan kehormatan pada anak. Orang tua bertanggung jawab menikahkan anak-anaknya. Di banyak ayat, Al Qur’an menganjurkan orang agar mengakhiri kesendiriannya dengan pernikahan sebagai media menjaga gejolak seksualnya, dan sekaligus mengokohkan tatanan sosial. Juga untuk mengeliminasi terjadinya penyimpangan-penyimpangan. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :

وَأَنكِحُوا اْلأَيَامَى مِنكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَآئِكُمْ إِن يَكُونُوا فُقَرَآءَ يُغْنِهِمُ اللهُ مِن فَضْلِهِ وَاللهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ

"Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu dan orang-orang yang layak menikah di antara hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan karuniaNya". [An Nur : 32].

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menekankan hal ini dengan menjadikannya sebagai Sunnah Beliau. Oleh karena itu, pernikahan dini menjadi pilihan tepat untuk menuntaskan problematika seksual dan sangat cocok dengan fitrah manusia.

Ketika dua insan, lelaki wanita mengikat tali kasih cinta lewat pernikahan, maka ada dua manfaat yang diraihnya. Yaitu ketentraman jiwa dan kenikmatan duniawi melalui jima’. Dua hal ini sangat berpotensi dalam pengendalian nafsu syahwat manusia.

MENJAGA PANDANGAN.
Makna menjaga pandangan, ialah menahannya dari pandangan yang diharamkan. Jika tanpa sengaja pandangan matanya mengarah kepada obyek haram, maka langsung dipalingkan darinya. Ini harus ditekankan orang tua kepada anak sejak dini. Sehingga nantinya mudah bagi sang anak untuk menjaga diri dari pandangan haram. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

قُلْ لِّلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ

"Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya". [An Nur : 30].

Ibnul Qayyim menjelaskan : “Allah Azza wa Jalla menitahkan NabiNya untuk memerintahkan kepada orang-orang yang beriman, agar mereka menahan pandangan dan menjaga kemaluannya. Karena awalnya disebabkan oleh pandangan, maka perintah menjaga pandangan lebih di kedepankan daripada tekanan untuk menjaga kemaluan. Pasalnya, kasus-kasus yang terjadi bermula dari pandangan. Kronologisnya, (dimulainya dengan) pandangan, angan-angan, langkah dan kemudian terjadi dosa. Ada ungkapan: "Barangsiapa bisa menjaga empat hal ini, niscaya akan dapat membentengi agamanya. (Yaitu) detik-detik waktunya, angan-angan, tutur kata dan langkah-langkahnya".[2]

Al Qurthubi memberi nasihat : "Mata adalah gerbang terbesar menuju hati, dan panca indera yang paling berpengaruh terhadapnya. Karena itu, banyak terjadi kebinasaan (karenanya), dan wajib diwaspadai. Menjaganya dari yang haram hukumnya wajib, dan juga (harus menjaganya) dari setiap yang dikhawatirkan dapat menimbulkan fitnah"[3].

Anas bin Malik berkata : "Jika seorang wanita melewatimu, maka pejamkan matamu sampai dia menjauh". [4].

BERPUASA BAGI YANG BELUM MAMPU MENIKAH.
Puasa dapat meningkatkan ketakwaan seseorang dan memudahkannya untuk mengekang hasrat seksualnya. Nabi menjadikannya sebagai solusi bagi yang belum mampu membina rumah tangga. Bukan dengan melampiaskan melalui sarana yang haram atau maksiat. Sebab perilaku seperti ini tidak akan bisa mengobatinya, tetapi menumbuhkan penyakit bagi hatinya. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, (artina) : "Wahai para pemuda, barangsiapa di antara kalian yang mampu menikah, hendaknya menikah. Dan barangsiapa yang belum mampu, hendaknya ia berpuasa. Sesungguhnya puasa akan menjadi pengekang buat dirinya [5].

Perintah puasa buat para pemuda sangat efektif untuk memelihara diri mereka. Dia akan menahan diri dari berbagai makanan, minuman dan syahwatnya demi meraih ridha Allah. Puasa bagaikan wahana pembinaan menghadapi segala perkara yang berat dan meredam gejolak syahwat perut yang merupakan syahwat yang paling kuat. Juga bermanfaat untuk melahirkan pribadi yang berkepribadian kuat.

HENDAKNYA DIBERI PENEKANAN AGAR SELALU BERKAWAN DENGAN ORANG-ORANG YANG BAIK
Sahabat yang baik akan menjadi penolong setelah Allah dalam meniti jalan yang lurus. Nabi Shallallahu 'alaihi wa salalm bersabda :

الرَّجُلُ عَلَى دِينِ خَلِيلِهِ فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ

"Seseorang akan mengikuti kebiasaan teman karibnya. Maka hendaknya salah seorang dari kalian melihat orang yang dia ajak berkawan". [HR Abu Dawud dan Tirmidzi. Lihat Shahihul Jami’ no. 3539].

Meremehkan bahaya teman yang buruk, akan menjadi bumerang di kemudian hari. Allah telah menceritakan penyesalan orang yang berkawan dengan orang yang tidak baik.

Qotadah berpesan: "Demi Allah. Sesungguhnya kami tidak melihat seorang lelaki yang mencari kawan, kecuali yang sama atau serupa. Maka berkawanlah dengan orang-orang yang shalih. Semoga kalian selalu bersama mereka atau menjadi seperti mereka".

MENANANMKAN RASA MALU PADA DIRI ANAK.
Al haya` (rasa malu) merupakan etika yang baik yang akan mengantarkannya menuju perbuatan yang baik dan menghalanginya dari tindakan buruk. Karena itu, Islam memuji rasa malu.

Ibnu ‘Umar meriwayatkan dari Nabi yang bersabda: "Rasa malu dan iman selalu bersanding. Jika salah satunya lenyap, maka yang lain (juga) hilang".[6]

Abu Said Al Khudri berkata:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَشَدَّ حَيَاءً مِنْ الْعَذْرَاءِ فِي خِدْرِهَا

"Rasulullah sangat pemalu, melebihi seorang gadis perawan dalam pingitannya".[7]

Rasa malu adalah sumber kebaikan. Wajah yang dihiasi dengan rasa malu bak permata yang mahal. Kehormatan akan terjaga. Terutama bagi seorang gadis, akan menjaga kesucian dirinya, menjauhkannya dari wilayah rawan yang bisa memperkeruh kehormatannya. Akhirnya ia menjadi pribadi yang hidup hatinya dan suci jiwanya.

MENJAUHI OBYEK YANG MENIMBULKAN RANGSANGAN ATAU FITNAH.
Seorang muslim wajib menjauhkan dirinya dari perkara yang bisa menimbulkan fitnah. Demikian juga, tidak menjadi sumber fitnah untuk orang lain. Ada beberapa hal yang dilarang syari’at lantaran dapat menimbulkan gejolak nafsu dan merangsang berbuat maksiat.

1. Berjabat Tangan Antara Lelaki Dan Perempuan Yang Bukan Mahram.
Lelaki dan perempuan yang bukan mahramnya, dilarang keras untuk berjabat tangan. Dengan tegas Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengatakan:

لِأنْ يَطْعَنَ فِي رَأْسِ أحَدَكِمْ بِمِخْيَطٍ مِنْ حَدِيدٍ خَيرٌ لَهُ مِنْ أنْ يَمَسَّ امْرَأةً لَا تَحِلُّ لَهُ

"Tertusuknya kepala salah seorang dari kalian dengan jarum besi lebih baik daripada menyentuh wanita yang tidak halal baginya". [8]

Nabi Shallallahu 'alaihi wa salalm sebagai pribadi yang paling bertakwa dan mulia, Beliau tidak pernah berjabat tangan dengan wanita. Umaimah binti Raqiqah menceritakan, ketika sebagian wanita berbaiat kepada Nabi, kami berkata: "Ya, Rasulullah! Tidakkah engkau berjabat tangan dengan kami?" Beliau menjawab:

إِنِّي لَا أُصَافِحُ النِّسَاءَ إِنَّمَا قَوْلِي لِامْرَأَةٍ وَاحِدَةٍ كَقَوْلِي لِمِائَةِ امْرَأَةٍ

"Aku tidak bersalaman dengan wanita. Ucapanku pada seorang wanita (dalam baiat), seperti halnya ucapanku kepada seratus wanita".[9]

Siapapun, lelaki maupun wanita itu, jika ia bukan mahramnya, maka tidak boleh terjadi persentuhan antara kulit mereka berdua.

2. Menikmati Musik.
Musik termasuk pemicu yang dapat menimbulkan rangsangan syahwat dan menyebarkannya. Suara merdu, apalagi diiringi dengan alunan musik, sangat melekat di hati.

Ibnu Taimiyah mengatakan: "Musik rayuan menuju zina. Ia menjadi salah satu penyebab terjadinya kemungkaran. Seorang lelaki atau anak kecil atau seorang wanita yang sebelumnya kehormatannya terjaga, begitu menghadiri tontonan musik, maka jiwanya berubah lepas, dan kemungkaran mudah ia kerjakan. Ia langsung menjadi pelaku atau sebagai obyek dari maksiat tersebut, atau menjadi dua-duanya, sebagaimana yang dialami penenggak minuman keras". [10]

Sedangkan Ibnul Qayyim berkata: "Tidak pelak lagi, lelaki yang punya ghirah (kecemburuan terhadap agama) akan menjauhkan keluarganya dari alunan musik, sebagaimana ia menjaga mereka dari perkara-perkara fitnah,” beliau menambahkan: “Demi Allah. Berapa banyak wanita terhormat yang akhirnya menjadi wanita jalang karena pengaruh musik…" [11]

3. Tutur Kata Yang Menggoda.
Tutur kata yang menggoda dan terlalu genit, terutama dari pihak perempuan termasuk faktor yang dapat melunturkan kehormatannya. Di sisi lain, ia mampu membuat lawan jenisnya terfitnah. Karena itu Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

يَانِسَآءَ النَّبِيِّ لَسْتُنَّ كَأَحَدٍ مِّنَ النِّسَآءِ إِنِ اتَّقَيْتُنَّ فَلاَ تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلاً مَّعْرُوفًا

"Hai istri-istri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita lainnya, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik". [12]

Dalam ayat ini, Allah melarang al khudhu’fil qaul (berbicara dengan menggoda) kepada lelaki. Sebab, seperti dijelaskan hikmahnya, agar tidak menimbulkan rangsangan kepada orang yang hatinya ada penyakit.

Fenomena yang terjadi, sebagian wanita terlalu ramah dalam berkomunikasi dengan lawan jenisnya. Senyumnya selalu tersungging, seolah-olah sedang berbicara dengan suami atau ayah dan anaknya. Bahkan tidak itu saja. Ada yang mencoba mencandainya. Bisa jadi, tingkat keramahannya melebihi saat ia bersama suaminya. Tentu ini sebuah kesalahan dan kemungkaran yang bisa mengantarkannya kepada kemaksiatan lainnya.

4. Ikhtlath (Bercampurnya) Lelaki Perempuan.
Islam tidak memprbolehkan terjadinya ikhtilah antara kaum lelaki dengan perempuan dan sebaliknya. Semua ini untuk menjaga keluhuran akhlak, kehormatan dan norma-norma.

KHUSUS BAGI ANAK PEREMPUAN, HENDAKNYA MENUTUPI DIRI DENGAN PAKAIAN MUSLIMAH.
Salah satu indikasi kebaikan seorang wanita muslimah, ialah mengenakan pakaian yang sesuai dengan syari’at Islam yang suci. Hijab, itulah istilahnya. Dalam hal ini, seorang mukminah tidak mempunyai alternatif lain, kecuali harus tunduk patuh kepada Rabb-nya. Termasuk dalam hal ini, yaitu tunduk patuh dalam mengikuti petunjuk perintah tersebut. Sebab, manakala kaidah-kaidah umumnya diserahkan kepada masing-masing individu, maka tujuan agung dari peraturan tersebut akan menjadi kabur.

Fenomena sosial menjadi bukti nyata. Apabila prinsip berpakaian ‘bebas’, maka yang muncul jilbab gaul, desain baju yang sempit lagi transparan dan terkesan kurang bahan. Ditambah lagi, tampilan yang mengundang tatapan mata. Padahal Allah Subhanahu wa Ta'ala telah berfirman, (artinya) : "Wahai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin : “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang". [Al Ahzab : 59].

Pakaian wanita harus menutupi sekujur tubuhnya, tidak boleh tranparan atau berdesain yang menyolok, tidak sempit atau mini. Demikian juga tidak menyerupai tradisi wanita kafir atau perempuan yang fasik.

Demikianlah diantara kunci untuk memelihara kehormatan anak-anak. Penjagaan kehormatan sangat penting. Karena ia merupakan cerminan iman dan kunci untuk menggapai kebahagian abadi. Rasulullah Shallallahu 'alaihi was allam bersabda:

مَنْ ضَمِنَ لِيْ مَا بَينَ لِحْيَيهِ وَفَخِذَيهِ ضَمِنْتُ لَهُ الْجَنَّةَ

"Barangsiapa mampu menjamin pemeliharaan anggota yang ada diantara dua tulang rahangnya dan diantara dua selangkangannya, maka aku jamin baginya surga". [Lihat Shahihul Jami’ no. 1029].

Semoga pengakuan Ibnu Sirin di bawah ini bukan lagi khayalan pada generasi muda. Dia pernah menceritakan tentang dirinya: "Demi Allah. Aku tidak pernah menyetubuhi wanita sama sekali, kecuali Ummu’Abdillah saja –istrinya-. Pernah aku bermimpi melihat wanita, dan aku pun ingat bahwa ia tidak halal bagiku, maka aku palingkan pandanganku darinya".

MENJAGA UKHUWWAH (PERSAUDARAAN) SESAMA MUKMININ

Ahlus Sunnah wal Jama’ah menjaga ukhuwwah (persaudaraan) sesama Mukminin dan seolah mereka itu seperti satu tubuh, bila yang satu sakit, maka yang lainnya pun ikut merasakan sakit juga.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang Artinya:
"Seorang Mukmin dengan Mukmin lainnya seperti satu bangunan yang tersusun rapi, sebagiannya menguatkan sebagian yang lain.” Dan beliau merekatkan jari-jemarinya. [1]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun pernah bersabda yang Artinya:

"Perumpamaan kaum Mukminin dalam cinta-mencintai, sayang-menyayangi dan bahu-membahu, seperti satu tubuh. Jika salah satu anggota tubuhnya sakit, maka seluruh anggota tubuhnya yang lain ikut merasakan sakit juga, dengan tidak bisa tidur dan demam.” [2]

Di antara hak-hak seorang Muslim yang harus dipenuhi oleh saudaranya sesama Muslim adalah:

1. Apabila berjumpa, mengucapkan salam.
2. Apabila diundang, maka dipenuhi undangannya.
3. Apabila meminta nasihat, maka dinasihati.
4. Apabila bersin dan mengucapkan: “Alhamdulillaah,” maka dido’akan dengan mengucapkan: “Yarhamukallaah (semoga Allah merahmatimu).”
5. Apabila sakit, hendaknya dijenguk.
6. Apabila meninggal dunia, maka diantarkan jenazahnya.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang Artinya:

"Lima hak yang harus ditunaikan seorang Muslim atas saudara Muslim lainnya: (1) menjawab salam, (2) bertasymit saat ia bersin, [3] memenuhi undangannya, (4) menjenguk ketika ia sakit, dan (5) mengantar jenazahnya.” [4]

7. Apabila mengalami kesulitan, maka diberikan bantuan.
8. Senantiasa memudahkan urusannya.
9. Senantiasa menutupi aibnya.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang Artinya:

“Barangsiapa menghilangkan satu kesulitan seorang Mukmin dari kesulitan-kesulitan dunia, maka Allah akan menghilangkan kesulitan darinya dari kesulitan-kesulitan di hari Kiamat. Dan barangsiapa memudahkan urusan seorang Mukmin, maka Allah akan memudahkan urusannya di dunia dan akhirat. Dan barangsiapa yang menutupi aib seorang Muslim, maka Allah akan menutupi aibnya di dunia dan akhirat. Allah akan senantiasa menolong hamba-Nya selama hamba itu menolong saudaranya.” [5]

Ahlus Sunnah menganjurkan tolong-menolong sesama kaum Muslimin dalam kebaikan dan taqwa berdasarkan timbangan syari’at, bukan timbangan para pengikut hawa nafsu dan ahli bid’ah.

Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala

"Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan janganlah tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.”[ Al-Maa-idah: 2]

Memberi Upah Pekerja Sebelum Keringatnya kering

Pertanyaan
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin ditanya : Apa nasehat anda untuk para majikan yang menangguhkan upah para pekerjanya hingga tiga bulan atau lebih?

Jawaban
Kami nasehatkan agar mereka tidak melakukan itu karena merugikan para pekerja itu, bahkan perbuatan ini merupakan kezhaliman yang besar dan perusakan terhadap hak-hak mereka. Sebagaimana para majikan itu tidak rela hal ini terjadi pada diri mereka, walaupun kebutuhannya sedikit, maka demikian juga para pekerja miskin itu, mereka sangat membutuhkan upah yang sedikit itu. Kami lihat para karyawan pemerintah, saat menjelang akhir bulan, mereka bersiap-siap untuk menerima gaji, jika terlambat, mereka marah dan bersikap kasar saat memintanya. Telah disebutkan dalam sebuah hadits sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Artinya : Berikan upah pekerja sebelum kering keringatnya” [1]

Yakni sebelum berlalu waktunya walaupun sedikit

Tidak diargukan lagi, bahwa menangguhkannya hingga dua bulan atau lebih akan menyulitkan orang-orang miskin itu, lebih-lebih lagi mereka megemban tanggung jawab nafkah untuk keluarga dan diri mereka sendiri. Penangguhan itu tentu mengantarkan mereka kepada kelaparan, kesuliatn, tidak adanya pakaian, pinjaman dan utang. Sungguh ini merupakan kezhaliman yang besar. Maka hendaknya para majikan senantiasa mengingat hal itu dan membayangkan bila hal itu menimpa mereka. Jika hak mereka ditahan sementara mereka sangat membutuhkan, apa yang akan mereka lakukan. Hendaklah mereka takut akan doanya orang yang dizhalimi, karena tidak ada pembatas antara Allah dan doanya orang yang dizhalimi. Wallahu ‘alam

[Ad-Durr Ats-Tsamin fi Fatawa Al-Kufala wal Amilin, hal. 63 Syaikh Ibnu Jibrin]

KESEPAKATAN AWAL ADALAH LANDASANNYA

Oleh
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin

Pertanyaan
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin ditanya : Bagaimana hukumnya majikan yang membebani pekerja denan lebih dari satu pekerjaan, misalnya, tukang ukir dituntut untuk mengerjakan pekerjaan lainnya. Apakah ini dibolehkan? Padahal ia datang hanya untuk satu pekerjaan saja.

Jawaban
Hal ini merujuk kepada kesepakat awal. Jika didatangkan untuk bekerja sebagai satpam, maka tidak boleh dipindah tugaskan sebagai sopir. Jika ia datang untuk bekerja sebagai teknisi listrik, maka tidak boleh ditugaskan menjahit. Jika ia datang untuk bekerja di lading tidak boleh dipekerjakan di pabrik. Jika ia datang untuk bekerja sebagai tukang bangunan, maka tidak boleh ditugasi pekerjaan tehbikal, dan sebagainya. Karena masing-masing mereka memiliki keahlian tersendiri, maka dari itu majikan harus menepati janjinya dan tidak membebani pekerja dengan tugas yang tidak mampu dikerjakannya atau tidak dikuasainya dan bukan bidangnya. Juga tidak boleh memberatkannya dengan panjangan waktu kerja. Biasanya , pekerja itu bekerja selama tujuh atau delapan jam per hari. Jika telah disepakati suatu pekerjaan tertentu dengan jam kerja tertentu serta masa kerja tertentu, maka tidak boleh dilanggar.

Tetapi jika sama-sama rela untuk merubah bidang pekerjaan, atau mengurangi atau menambah pekerjaan dengan konsekwensi menambah atau mengurangi upah, maka itu terserah kesepakatan antara keduanya. Jika tidak ada kesepakatan baru, maka pekerja itu harus diberi insentif tambahan karena adanya tambahan pekerjaan dari yang telah disepakati. Wallahu a’lam

Minggu, 26 Desember 2010

Kesetiaan Isteri Kepada Suami

Teguh dengan kesetiaan yang jujur merupakan sifat wanita yang paling utama.

Sebuah kisah menyebutkan, bahwasanya Asma’ binti 'Umais adalah isteri Ja’far bin Abi Thalib, lalu menjadi isteri Abu Bakar sepeninggalnya, kemudian setelah itu dinikahi oleh ‘Ali Radhiyallahu ‘anhu. Suatu kali kedua puteranya, Muhammad bin Ja’far dan Muhammad bin Abi Bakar saling membanggakan. Masing-masing mengatakan, “Aku lebih baik dibandingkan dirimu, ayahku lebih baik dibandingkan ayahmu.” Mendengar hal itu, ‘Ali berkata, “Putuskan perkara di antara keduanya, wahai Asma’.” Ia mengatakan, “Aku tidak melihat pemuda Arab yang lebih baik dibandingkan Ja’far dan aku tidak melihat pria tua yang lebih baik dibandingkan Abu Bakar.” ‘Ali mengatakan, “Engkau tidak menyisakan untuk kami sedikit pun. Seandainya engkau mengatakan selain yang engkau katakan, niscaya aku murka kepadamu.” Asma’ berkata, “Dari ketiganya, engkaulah yang paling sedikit dari mereka untuk dipilih” [1]

Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu berwasiat agar Asma’ binti ‘Umais Radhiyallahu ‘anhuma memandikannya (saat kematiannya). Ia pun melakukannya, sedangkan ia dalam keadaan berpuasa. Lalu ia bertanya kepada kaum Muhajirin yang datang, “Aku berpuasa dan sekarang adalah hari yang sangat dingin, apakah aku wajib (harus) mandi?” Mereka menjawab, “Tidak.” Sebelumnya Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu menekankan kepadanya agar (ketika memandikannya) dia tidak dalam keadaan berpuasa, seraya mengatakan, “Itu membuatmu lebih kuat.”

Kemudian ia teringat sumpah Abu Bakar pada akhir siang, maka ia meminta air lalu meminumnya seraya mengatakan, “Demi Allah, aku tidak ingin mengiringi sumpahnya pada hari ini dengan melanggarnya” [2]

Ketika kaum pendosa lagi fasik mengepung pemimpin yang berbakti dan “sang korban pembunuhan” kaum berdosa, ‘Utsman bin ‘Affan Radhiyallahu ‘anhu dan mereka menyerangnya dengan pedang, maka isterinya (Na'ilah binti al-Furafishah) maju ke hadapan beliau sehingga menjadi pelindung baginya dari kematian. Para pembunuh yang bengis ini tidak menghiraukan kehormatan wanita ini dan mereka terus menebas ‘Utsman dengan pedang, (namun sang isteri menangkisnya) dengan mengepalkan jari-jari tangannya, hingga jari-jarinya terlepas dari tangannya. Isterinya menggandengnya lalu terjatuh bersamanya, kemudian mereka membunuh ‘Utsman [3].

Ketika Amirul Mukminin Mu’awiyah Radhiyallahu ‘anhu melamarnya, ia menolak seraya mengatakan, “Demi Allah, tidak ada seorang pun yang dapat menggantikan kedudukan 'Utsman (sebagai suamiku) selamanya."[4]

Di antara tanda-tanda kesetiaan banyak wanita shalihah kepada suami mereka setelah kematiannya bahwa mereka tidak menikah lagi. Tidak ada yang dituju melainkan agar tetap menjadi isteri mereka di dalam Surga"[5]

Dari Maimun bin Mihran, ia mengatakan: “Mu’awiyah bin Abi Sufyan Radhiyallahu ‘anhu meminang Ummud Darda’, tetapi ia menolak menikah dengannya seraya mengatakan, ‘Aku mendengar Abud Darda’ mengatakan: ‘Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda yang.
“Artinya :Wanita itu bersama suaminya yang terakhir,’ atau beliau mengatakan, ‘untuk suaminya yang terakhir"[6]

Dari ‘Ikrimah bahwa Asma’ binti Abi Bakar menjadi isteri az-Zubair bin al-‘Awwam, dan dia keras terhadapnya. Lalu Asma’ datang kepada ayahnya untuk mengadukan hal itu kepadanya, maka dia mengatakan, “Wahai puteriku, bersabarlah! Sebab, jika wanita memiliki suami yang shalih, kemudian dia mati meninggalkannya, lalu ia tidak menikah sepeninggalnya, maka keduanya dikumpulkan di dalam Surga” [7]

Dari Jubair bin Nufair, dari Ummud Darda’ bahwa dia berkata kepada Abud Darda’, “Sesungguhnya engkau telah meminangku kepada kedua orang tuaku di dunia, lalu mereka menikahkanmu denganku. Dan sekarang, aku meminangmu kepada dirimu di akhirat.” Abud Darda’ mengatakan, “Kalau begitu, janganlah menikah sepeninggalku.” Ketika Mu’awiyah meminangnya, lalu ia menceritakan tentang apa yang telah terjadi, maka Mu’awiyah mengatakan, “Berpuasalah! [8]

Ketika Sulaiman bin ‘Abdil Malik keluar dan dia disertai Sulaiman bin al-Muhlib bin Abi Shafrah dari Damaskus untuk melancong, keduanya melewati sebuah pekuburan. Tiba-tiba terdapat seorang wanita sedang duduk di atas pemakaman dengan keadaan menangis. Lalu angin berhembus sehingga menyingkap cadar dari wajahnya, maka ia seolah-olah mendung yang tersingkap matahari. Maka kami berdiri dalam keadaan tercengang. Kami memandangnya, lalu Ibnul Muhlib berkata kepadanya, “Wahai wanita hamba Allah, apakah engkau mau menjadi isteri Amirul Mukminin?” Ia memandang keduanya, kemudian memandang kuburan, dan mengatakan:

"Jangan engkau bertanya tentang keinginanku
Sebab keinginan itu pada orang yang dikuburkan ini, wahai pemuda
Sesungguhnya aku malu kepadanya sedangkan tanah ada di antara kita
Sebagaimana halnya aku malu kepadanya ketika dia melihatku”

Maka, kami pergi dalam keadaan tercengang.[9]

Di antara teladan yang pantas disebutkan sebagai teladan utama dari para wanita tersebut adalah Fathimah binti ‘Abdil Malik bin Marwan. Fathimah binti Amirul Mukminin ‘Abdil Malik bin Marwan ini pada saat menikah, ayahnya memiliki kekuasaan yang sangat besar atas Syam, Irak, Hijaz, Yaman, Iran, Qafqasiya, Qarim dan wilayah di balik sungai hingga Bukhara dan Janwah bagian timur, juga Mesir, Sudan, Libya, Tunisia, Aljazair, Barat jauh, dan Spanyol bagian Barat. Fathimah ini bukan hanya puteri Khalifah Agung, bahkan dia juga saudara empat khalifah Islam terkemuka: al-Walid bin ‘Abdil Malik, Sulaiman bin ‘Abdil Malik, Yazid bin ‘Abdil Malik dan Hisyam bin ‘Abdil Malik. Lebih dari itu dia adalah isteri Khalifah terkemuka yang dikenal Islam setelah empat khalifah di awal Islam, yaitu Amirul Mukminin ‘Umar bin ‘Abdil ‘Aziz.

Puteri khalifah, dan khalifah adalah kakeknya
Saudara khalifah, dan khalifah adalah suaminya

Wanita mulia yang merupakan puteri khalifah dan saudara empat khalifah ini keluar dari rumah ayahnya menuju rumah suami-nya pada hari dia diboyong kepadanya dengan membawa harta termahal yang dimiliki seorang wanita di muka bumi ini berupa perhiasan. Konon, di antara perhiasan ini adalah dua liontin Maria yang termasyhur dalam sejarah dan sering disenandungkan para penya’ir. Sepasang liontin ini saja setara dengan harta karun.

Ketika suaminya, Amirul Mukminin, memerintahkannya agar membawa semua perhiasannya ke Baitul Mal, dia tidak menolak dan tidak membantahnya sedikit pun.

Wanita agung ini -lebih dari itu- ketika suaminya, Amirul Mukminin ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz wafat meninggalkannya tanpa meninggalkan sesuatu pun untuk diri dan anak-anaknya, kemudian pengurus Baitul Mal datang kepadanya dan mengatakan, “Perhiasanmu, wahai sayyidati, masih tetap seperti sedia kala, dan aku menilainya sebagai amanat (titipan) untukmu serta aku memeliharanya untuk hari tersebut. Dan sekarang, aku datang meminta izin kepadamu untuk membawa (kembali) perhiasan tersebut (kepadamu).”

Fathimah memberi jawaban bahwa perhiasan tersebut telah dihibahkannya untuk Baitul Mal bagi kepentingan kaum muslimin, karena mentaati Amirul Mukminin. Kemudian dia mengatakan, “Apakah aku akan mentaatinya semasa hidupnya, dan aku mendurhakainya setelah kematiannya?

KEHIDUPAN YANG ISLAMI

Saudaraku....
Dengan penuh pengharapan bahwa kebahagian dunia dan akhirat yang akan kita dapatkan, maka kami sampaikan risalah yang berisikan pertanyaan-pertanyaan ini kehadapan anda untuk direnungkan dan di jawab dengan perbuatan.

Pertanyaan-pertanyaan ini sengaja kami angkat kehadapan anda dengan harapan yang tulus dan cinta karena Allah Subhanahu wa Ta'ala, supaya kita bisa mengambil mannfaat dan faedah yang banyak darinya, disamping itu sebagai bahan kajian untuk melihat diri kita, sudah sejauh mana dan ada dimana posisinya selama ini.

Apakah anda selalu shalat Fajar berjama'ah di masjid setiap hari .?

Apakah anda selalu menjaga Shalat yang lima waktu di masjid .?

Apakah anda hari ini membaca Al-Qur'an .?

Apakah anda rutin membaca Dzikir setelah selesai melaksanakan Shalat wajib .?

Apakah anda selalu menjaga Shalat sunnah Rawatib sebelum dan sesudah Shalat wajib .?

Apakah anda (hari ini) Khusyu dalam Shalat, menghayati apa yang anda baca .?
Apakah anda (hari ini) mengingat Mati dan Kubur .?

Apakah anda (hari ini) mengingat hari Kiamat, segala peristiwa dan kedahsyatannya .?

Apakah anda telah memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala sebanyak tiga kali, agar memasukkan anda ke dalam Surga .? Maka sesungguhnya barang siapa yang memohon demikian, Surga berkata :"Wahai Allah Subhanahu wa Ta'ala masukkanlah ia ke dalam Surga".

Apakah anda telah meminta perlindungan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala agar diselamatkan dari api neraka sebanyak tiga kali .? Maka sesungguhnya barangsiapa yang berbuat demikian, neraka berkata :"Wahai Allah peliharalah dia dari api neraka". Berdasarkan hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang artinya :"Barangsiapa yang memohon Surga kepada Allah sebanyak tiga kali, Surga berkata :"Wahai Allah masukkanlah ia ke dalam Surga. Dan barangsiapa yang meminta perlindungan kepada Allah agar diselamatkan dari api neraka sebanyak tiga kali, neraka berkata :"Wahai Allah selamatkanlah ia dari neraka". [Hadits Riwayat Tirmidzi dan di shahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami No. 911. Jilid 6]

Apakah anda (hari ini) membaca hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam .?

Apakah anda pernah berfikir untuk menjauhi teman-teman yang tidak baik .?

Apakah anda telah berusaha untuk menghindari banyak tertawa dan bergurau .?

Apakah anda (hari ini) menangis karena takut kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala .?

Apakah anda selalu membaca Dzikir pagi dan sore hari .?

Apakah anda (hari ini) telah memohon ampunan kepada Allah Subhanahu wa ta'ala atas dosa-dosa (yang engkau perbuat -pen) .?

Apakah anda telah memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan benar untuk mati Syahid .? Karena sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda yang artinya :"Barangsiapa yang memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan benar untuk mati syahid, maka Allah Subhanahu wa Ta'ala akan memberikan kedudukan sebagai syuhada meskipun ia meninggal di atas tempat tidur". [Hadits Riwayat Tirmidzi, Nasa'i, Ibnu Majah, Ibnu Hibban dalam shahihnya, Al-Hakim dan ia menshahihkannya]

Apakah anda telah berdo'a kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala agar ia menetapkan hati anda atas agama-Nya. ?

Apakah anda telah mengambil kesempatan untuk berdo'a kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala di waktu-waktu yang mustajab .?

Apakah anda telah membeli buku-buku agama Islam untuk memahami agama .? [Tentu dengan memilih buku-buku yang sesuai dengan pemahaman yang dipahami oleh para Shahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, karena banyak juga buku-buku Islam yang tersebar di pasaran justru merusak pemahaman Islam yang benar, pent]

Apakah anda telah memintakan ampunan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala untuk saudara-saudara mukminin dan mukminah .? Karena setiap mendo'akan mereka anda akan mendapat kebajikan pula.

Apakah anda telah memuji Allah Subhanahu wa Ta'ala (dan bersyukur kepada-Nya, pent) atas nikmat Islam .?

Apakah anda telah memuji Allah Subhanahu wa Ta'ala atas nikmat mata, telinga, hati dan segala nikmat lainnya .?

Apakah anda hari-hari ini telah bersedekah kepada fakir miskin dan orang-orang yang membutuhkannya .?

Apakah anda dapat menahan marah yang disebabkan urusan pribadi, dan berusaha untuk marah karena Allah Subhanahu wa Ta'ala saja .?

Apakah anda telah menjauhi sikap sombong dan membanggakan diri sendiri .?

Apakah anda telah mengunjungi saudara seagama, ikhlas karena Allah Subhanahu wa Ta'ala .?

Apakah anda telah menda'wahi keluarga, saudara-saudara, tetangga, dan siapa saja yang ada hubungannya dengan diri anda .?

Apakah anda termasuk orang yang berbakti kepada orang tua .?

Apakah anda mengucapkan "Innaa Lillahi wa innaa ilaihi raji'uun" jika mendapatkan musibah .?

Apakah anda hari ini mengucapkan do'a ini : " Allahumma inii a'uudubika an usyrika bika wa anaa a'lamu wastagfiruka limaa la'alamu = Ya Allah sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari menyekutukan Engkau sedangkan aku mengetahui, dan aku memohon ampun kepada-Mu terhadap apa-apa yang tidak aku ketahui". Barangsiapa yang mengucapkan yang demikian, Allah Subhanahu wa Ta'ala akan menghilangkan darinya syirik besar dan syirik kecil. [Lihat Shahih Al-Jami' No. 3625]

Apakah anda berbuat baik kepada tetangga .?

Apakah anda telah membersihkan hati dari sombong, riya, hasad, dan dengki .?

Apakah anda telah membersihkan lisan dari dusta, mengumpat, mengadu domba, berdebat kusir dan berbuat serta berkata-kata yang tidak ada manfaatnya .?

Apakah anda takut kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam hal penghasilan, makanan dan minuman, serta pakaian .?

Apakah anda selalu bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan taubat yang sebenar-benarnya di segala waktu atas segala dosa dan kesalahan .?

Saudaraku ..
Jawablah pertanyaan-pertanyaan di atas dengan perbuatan, agar kita menjadi orang yang beruntung di dunia dan akhirat, inysa Allah.

Jumat, 24 Desember 2010

Shalatnya Orang Yang Sedang Sakit

Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Ada orang sakit dibagian perutnya, lalu dia masuk rumah sakit dan dioperasi. Setelah dioperasi di tidak sadarkan diri selama satu setengah hari karena pengaruh obat bius. Setelah dia sadar, dia masih belum mampu melaksanakan shalat dengan sempurna dan juga belum bisa mandi selama satu minggu. Bagaimana orang ini harus shalat?

Jawaban
Orang yang sakit wajib melaksanakan shalat fardhu sesuai dengan kemampuannya, berdasarjab sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika ditanya tentang tata cara shalat orang yang sakit.

“Artinya : Shalatlah dengan berdiri. Jika kamu tidak sanggup, shalatlah sambil duduk. Jika masih tidak sanggup, shalatlah sambil tidur miring” [Hadits Riwayat Bukhari]

Dalam riwayat An-Nasa’i ada tambahan : “jika engkau tidak bisa, boleh sambil terlentang”.

Jika dia tidak bisa ruku dengan sempurna, dia boleh ruku dengan cara membungkukkan badannya sedikit sesuai dengan kemampuannya. Begitu juga tidak mampu sujud dengan sempurna, dia boleh sujud dengan cara membungkukkan badannya sesuai dengan kemampuannya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

“Artinya : Maka bertakwalah kalian kepada Allah semampu kalian” [At-Tagabun : 16]

Jika seorang tidak sadarkan diri karena pengaruh obat bius atau karena sakitnya terlalu parah, dia harus segera mungkin mengqadla shalat-shalat wajib yang belum dia laksanakan selama dia tidak sadar, sesuai dengan kemampuannya. Hal ini berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Artinya : Barangsiapa yang tertidur atau lupa melaksanakan shalat maka hendaklah dia segera shalat ketia dia ingat atau terbangun dan tidak ada denda selain itu” [Hadits Riwayat Muslim]

Tidak diragukan lagi bahwa pingsan karena sakit atau karena obat bius hukumnya sama dengan orang yang tertidur, walaupun selama dua atau tiga hari. Jadi dia tidak boleh (tidak usah) mengundurkan shalat-shalat tersebut untuk dilakukan bersama shalat-shalat yang sejenis. Tapi yang benar adalah dia harus segera mengerkan shalat-shalat fardhu yang dia tinggalkan ketika dia sudah sadar, seperti orang yang bangun dari tidurnya atau orang yang teringat dari kelupaannya. Dan jika dia tidak mampu menggunakan air, dia boleh bertayamum berdasarkan ayat-ayat yang telah lalu. Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala Maha Penolong.

Apakah Orang Yang Sudah Shalat Jum’at Harus Shalat Dhuhur?

Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apakah orang yang sudah shalat Jum’at harus shalat dhuhur?

Jawaban
Apabila seseorang telah melakukan shalat jum’at, padahal ia adalah kewajiban yang terkait dengan waktu yaitu waktu dhuhur, maka ia tidak perlu lagi shalat dhuhur. Shalat dhuhur setelah shalat jum’at adalah perbuatan bid’ah, karena ia tidak bersumber dari Kitabullah dan sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam maka hal itu wajib dilarang. Sampai meskipun jama’ah yang mengadakan jum’atan ada beberapa tempat maka tetap tidak diperintahkan untuk melakukan shalat dhuhur setelah shalat jum’at, bahkan adalah bid’ah yang munkar. Karena Allah tidak memerintahkan dalam satu waktu kecuali sekali shalat yaitu shalat jum’at yang telah dilaksanakannya. Adapun alasan orang yang memerintahkan hal itu karena menurut mereka banyaknya tempat melakukan shalat jum’at adalah tidak boleh. Dan jika tempatnya banyak maka yang bernilai jum’at adalah masjid yang paling pertama melakukannya, sedangkan untuk mengetahui mana yang paling pertama adalah sulit sehingga hal ini menyebabkan batalnya semua orang yang melakukan shalat jum’at, sehingga mereka harus melakukan shalat dhuhur setelah itu.

Kami katakan kepada mereka : Dari mana kalian mengambil dasar atau alasan ini? Apakah berdasar kepada sunnah atau penalaran yang benar? Jawabannya tentu tidak, bahkan kami katakan bahwa jum’atan bila memang kondisi menuntut banyaknya tempat melakukannya maka semuanya itu sah, berdasar firman-Nya : “Dan bertakwalah kepada Allah sekuat dayamu”. Penduduk suatu daerah jika memang jaraknya saling berjauhan atau masjid yang ada sempit sehingga masjid untuk jum’atan banyak sesuai kebutuhan maka mereka telah bertakwa kepada Allah sekuat daya. Barangsiapa yang telah bertakwa kepada Allah sekuat daya maka ia telah melaksanakan kewajibannya, lalu bagaimana orang seperti ini dikatakan amalannya batil dan ia harus menggantinya dengan shalat dhuhur?

Adapun jika dilaksanakan shalat jum’at di berbagai masjid tanpa ada satu kebutuhan maka hal ini tanpa diragukan lagi adalah menyelisihi sunnah, dan apa yang dikerjakan oleh para khalifah yang mendapat petunjuk. Hukumnya haram menurut kebanyakan ulama. Tetapi meski demikian kita tidak bisa mengatakan ibadahnya tidak sah, karena tanggung jawab hal ini tidak pada masyarakat umum tetapi pada pemerintah yang membolehkan terjadinya banyak tempat untuk melaksanakan shalat jum’at tanpa suatu kebutuhan. Oleh karena itu kami katakan : Hendaknya para penguasa yang mengurusi masalah masjid, melarang terjadinya shalat jum’at di banyak tempat kecuali memang kondisi menuntut demikian.

Hal ini karena bagi pemegang keputusan melihat manfaat yang besar dari berkumpulnya manusia dalam beribadah untuk meraih rasa cinta dan persaudaraan serta mengajari orang-orang bodoh. Dan lain-lainnya dari manfaat yang besar lagi banyak. Perkumpulan-perkumpulan yang disyari’atkan yaitu : perkumpulan pekanan, atau tahunan, atau harian sebagaimana sudah diketahui. Pertemuan harian terjadi di setiap masjid lokasi tempat tinggal, karena jika pemegang keputusan mewajibkan menusia berkumpul di satu tempat setiap hari 5 kali tentu memberatkan mereka. Oleh karena itu ia meringankan mereka dan menjadilkan pertemuan harian mereka cukup di masing-masing masjid lokasi tinggal.

Adapun pertemua pekanan yaitu pertemuan hari jum’at, manusia berkumpul setiap hari jum’at. Oleh karenanya sunnah menuntut hal ini dikerjakan di satu masjid bukan bermacam masjid, karena pertemuan pekanan ini tidak menyulitkan mereka jika diadakan, padanya ada manfaat yang besar. Manusia berkumpul dengan satu imam dan satu khatib yang akan memberi satu pengarahan, sehingga mereka keluar dengan mendapat satu nasehat, dan satu shalat.

Sedangkan pertemuan tahunan seperti shalat Idul Fitri maka ia adalah pertemuan untuk seluruh penduduk daerah, oleh karena itu ia tidak boleh dilakukan di masing-masing tempat kecuali jika memang kondisi membutuhkan yang demikian itu sebagaimana pada shalat jum’at.

[Disalin dari kitab Majmu Fatawa Arkanil Islam, edisi Indonesia Majmu Fatawa Solusi Problematika Umat Islam Seputar Akidah dan Ibadah, Penulis Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Terbitan Pustaka Arafah]

Khusyu’ Dalam Shalat Dan Pengaruhnya Bagi Seorang Muslim

Saya wasiatkan kepada Anda semua dan diri saya sendiri untuk bertakwa kepada Allah. Allah Ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنتُم مُّسْلِمُونَ

"Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah sebenar-benar taqwa kepadaNya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam". [ali Imran : 102].

إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنكَرِ ۗ وَلَذِكْرُ اللَّهِ أَكْبَرُ ۗ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُونَ

"Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadah-ibadah yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan". [al-Ankabut : 45]

Pembicaraan tentang shalat membutuhkan pengingatan dan pengulangan, tidak boleh ada kebosanan untuk mendengarkannya. Karena shalat merupakan kewajiban yang paling besar pengaruhnya, paling agung penjelasan dan kebaikannyan dan yang paling berbahaya apabila ditinggalkan. Shalat merupakan tiang agama dan kunci surga Allah. Barangsiapa yang menjaga shalat, berarti dia telah berpegang dengan syariat Islam dan mengambil pondasinya. Barangsiapa yang melalaikan shalat, berarti dia telah melalaikan agamanya dari pondasinya.

Shalat juga merupakan obat yang bisa menyembuhkan penyakit-penyakit hati, kejelekan jiwa dan penyakit-penyakitnya; bagaikan cahaya yang menghilangkan pekatnya dosa-dosa dan kemaksiatan. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memberikan permisalan dalam sabdanya :

أَرَأَيْتُمْ لَوْ أَنَّ نَهْرًا بِبَابِ أَحَدِكُمْ يَغْتَسِلُ مِنْهُ كُلَّ يَوْمٍ خَمْسَ مَرَّاتٍ هَلْ يَبْقَى مِنْ دَرَنِهِ شَيْءٌ قَالُوا لَا يَبْقَى مِنْ دَرَنِهِ شَيْءٌ قَالَ فَذَلِكَ مَثَلُ الصَّلَوَاتِ الْخَمْسِ يَمْحُو اللَّهُ بِهِنَّ الْخَطَايَا

“Apa pendapat kalian, seandainya ada sungai di depan pintu salah seorang dari kalian, dia mandi disungai itu lima kali sehari; apakah ada kotoran/daki yang tersisa?” Mereka menjawab,”Tidak akan ada kotoran yang tersisa sedikitpun.” Nabi berkata,”Demikianlah permisalan shalat lima waktu. Allah menghapuskan kesalahan-kesalahan dengan sebab shalat.” (HR Muslim).

Hal ini juga dikuatkan oleh hadits tentang keutamaan wudhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

فَإِنْ هُوَ قَامَ فَصَلَّى فَحَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ وَمَجَّدَهُ بِالَّذِي هُوَ لَهُ أَهْلٌ وَفَرَّغَ قَلْبَهُ لِلَّهِ إِلَّا انْصَرَفَ مِنْ خَطِيئَتِهِ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ

"Apabila dia berdiri untuk mengerjakan shalat, kemudian memuji dan mengagungkan Allah dengan pujian yang pantas bagi Allah, dia mengkhusyu’kan hatinya untuk Allah, kecuali dia berpisah dengan kesalahannya sebagaimana keadaannya pada hari dilahirkan oleh ibunya". [HR Muslim].

Seperti inilah buah dari ibadah, dan sedemikian besar hasil dari pelaksanaan ibadah shalat ini, sehingga pantas untuk diperhatian dan ditegakkan. Mari kita jadikan shalat sebagai penghias hidup kita dan bisikan hati kita.

Allahu Akbar; Hayya ‘alash shalat; Hayya ‘alal falah (mari kita kerjakan shalat, mari menuju kebahagiaan), panggilan yang bergema di segenap penjuru, adzan yang menembus telinga untuk membangunkan jasad yang bercahaya dengan keimanan dan hati yang khusyu’.

قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ هُمْ فِي صَلَاتِهِمْ خَاشِعُونَ

"Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman (yaitu) orang-orang yang khusyu' dalam shalatnya" [al Mu'minuun : 1-2]

Dengan khusyu’, seseorang yang shalat dapat menyatukan antara kebersihan lahiriyah dan kebersihan batiniyah, ketika dia berkata dalam ruku`nya :

خَشَع لَكَ َ سَمْعِي وَبَصَرِي وَمُخِّي وَعَظْمِي وَعَصَبِي

"Khusyu’ kepadaMu pendengaranku, penglihatanku, otakku, tulangku dan otot-ototku". [HR Muslim].

Sedangkan dalam riwayat Ahmad :

وَمَا اسْتَقَلَّتْ بِهِ قَدَمِي

"Dan ketika terangkatnya kedua kakiku untuk Allah".

Dengan kekhusyu’an, akan diampuni dosa-dosa dan dihapus kesalahan-kesalahan, dan ditulislah shalat di timbangan kebaikan, sebagaimana disebutkan dalam Shahih Muslim, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

مَا مِنِ امْرِئٍ مُسْلِمٍ تَحْضُرُهُ صَلَاةٌ مَكْتُوبَةٌ فَيُحْسِنُ وُضُوءَهَا وَخُشُوعَهَا وَرُكُوعَهَا إِلَّا كَانَتْ كَفَّارَةً لِمَا قَبْلَهَا مِنَ الذُّنُوبِ مَا لَمْ يُؤْتِ كَبِيرَةً وَذَلِكَ الدَّهْرَ كُلَّهُ

"Tidaklah seorang muslim mendapati shalat wajib, kemudian dia menyempurnakan wudhu`, khusyu’ dan ruku’nya, kecuali akan menjadi penghapus bagi dosa-dosanya yang telah lalu, selama tidak melakukan dosa besar; dan ini untuk sepanjang masa" [HR Muslim]

Shalat, apabila dihiasi dengan khusyu’ dalam perkataan, dan gerakannya dihiasi dengan kerendahan, ketulusan, pengagungan, kecintaan dan ketenangan, sungguh, ia akan bisa menahan pelakunya dari kekejian dan kemungkaran. Hatinya bersinar, keimanannnya meningkat, kecintaannya semakin kuat untuk melaksanakan kebaikan, dan keinginannya untuk berbuat kejelekan akan sirna. Dengan khusyu’, bertambahlah munajat seseorang kepada Rabb-nya, demikian pula kedekatan Rabb-nya kepadanya. Ahmad, Abu Dawud dan Nasaa-i meriwayatkan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam:

لَا يَزَالُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ مُقْبِلًا عَلَى الْعَبْدِ َ فِي صَلَاتِهِ مَا لَمْ يَلْتَفِتْ فَإِذَا الْتَفَتَ انْصَرَفَ عَنْه

"Senantiasa Allah ‘Azza wa Jalla menghadap hambaNya di dalam shalatnya, selama dia (hamba) tidak berpaling. Apabila dia memalingkan wajahnya, maka Allah pun berpaling darinya"

Khusyu’ memiliki kedudukan yang sangat besar. Ia sangat cepat hilangnya, dan jarang sekali didapatkan. Terlebih lagi pada jaman kita sekarang ini. Tidak bisa menggapai khusyu’ dalam shalat merupakan musibah dan penyakit yang paling besar. Rasulullah juga merasa perlu berlindung darinya, sebagaimana beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam berdoa :

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ قَلْبٍ لَا يَخْشَعُ

"Ya, Allah. Aku berlindung kepadaMu dari hati yang tidak khusyu’". [HR Tirmidzi]

Dan tidaklah penyimpangan moral menimpa sebagian kaum Muslimin, kecuali karena shalat mereka bagaikan bangkai tanpa ruh, dan sebatas gerakan belaka. Ath Thabrani dan selainnya meriwayatkan, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

أَوَّل مَا يُرْفَعُ مِن هَذِهِ الأُمَّةِ الْخُشُوعُ حَتَّى َلَا تَرَى فِيهَا رَجُلًا خَاشِعًا

"Yang pertama kali diangkat dari umatku adalah khusyu’, sehingga engkau tidak akan melihat seorang pun yang khusyu’".

Sahabat Hudzaifah Radhiyallahu 'anhu berkata : “Yang pertama kali hilang dari agama kalian adalah khusyu’, dan yang terakhir kali hilang dari agama kalian adalah shalat. Kadang-kadang seseorang yang shalat tidak ada kebaikannya, dan hampir-hampir engkau masuk masjid tanpa menjumpai di dalamnya seorang pun yang khusyu’”.

Shalat adalah penenang seorang muslim dan hiburannya, puncak tujuan dan cita-citanya. Rasulullah berkata kepada Bilal: “Tenangkan kami dengan shalat”. Beliau bersabda:

وَجُعِلَتْ قُرَّةُ عَيْنِي فِي الصَّلَاةِ

"Dan dijadikan penyejuk hatiku dalam shalat". [HR Nasaa-i dan Ahmad].

Shalat menjadi penyejuk hati, kenikmatan jiwa dan surga hati bagi seorang muslim di dunia. Seolah-olah ia senantiasa berada di dalam penjara dan kesempitan, sampai akhirnya masuk ke dalam shalat, sehingga baru bisa beristirahat dari beban dunia dengan shalat. Dia meninggalkan dunia dan kesenangannya di depan pintu masjid, dia meninggalkan di sana harta dunia dan kesibukannya untuk membuka lembaran yang dia sebutkan di dalam hatinya. Masuk masjid dengan hati yang penuh rasa takut karena mengagungkan Allah mengharapkan pahalaNya.

Abu Bakar ash Shiddiq Radhiyallahu 'anhu , apabila sedang dalam keadaan shalat, seolah-olah ia seperti tongkat yang ditancapkan. Apabila mengeraskan bacaannya, isakan tangis menyesaki batang lehernya. Sedangkan ‘Umar al Faruq Radhiyallahu 'anhu, apabila membaca, orang yang di belakangnya tidak bisa mendengar bacaannya karena tangisannya. Demikian juga ‘Umar bin Abdul Aziz rahimahullah, apabila dalam keadaan shalat, seolah-olah ia seperti tongkat kayu. Sedangkan ‘Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu 'anhu, apabila datang waktu shalat, bergetarlah ia dan berubah wajahnya. Tatkala ditanya, dia menjawab: “Sungguh sekarang ini adalah waktu amanah yang Allah tawarkan kepada langit, bumi dan gunung, mereka enggan untuk memikulnya dan takut dengan amanah ini, akan tetapi aku memikulnya”.

Di antara manusia ada yang shalat dengan badan dan seluruh persendiannya, menggerakkan lisannya dengan ucapan, menundukkan punggung mereka untuk ruku`, turun ke bumi untuk sujud, akan tetapi, hati mereka tidak bergerak ke arah Allah Sang Pencipta Yang Maha Tinggi. Mereka menampakkan ketundukan, sedangkan hatinya lari menjauh. Mereka membaca al Qur`an, akan tetapi tidak meresapinya. Mereka bertasbih, akan tetapi tidak memahaminya. Mereka berdiri di hadapan Allah dan di dalam rumahNya, akan tetapi, sebenarnya pandangannya ke arah pekerjaan mereka, tinggal bersama ruh mereka di tempat tinggal mereka. Begitulah keadaannya, seseorang telah mengerjakan shalat dalam waktu yang lama, akan tetapi ia tidak pernah menyempurnakan shalatnya, meskipun hanya sehari saja; karena ia tidak menyempurnakan ruku’nya, sujudnya dan khusyu’nya. Barangsiapa keadaannya seperti ini, sungguh ia tidak bisa mengambil manfaat dari shalatnya, sehingga kadang-kadang ia memakan harta manusia dengan batil, melakukan kerusakan di antara manusia, melaksanakan amalan yang bertentangan dengan agama dan akhlak, bahkan dia menjadikan shalat hanya untuk mendapatkan pujian manusia, untuk menutupi kejahatan kedua tangan dan kakinya.

Saudaraku seiman, hadits berikut ini sebagai renungan, sikapilah dirimu dengan jujur, agar mampu melihat posisi kita masing. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

إِنَّ الرَّجُلَ لَيَنْصَرِفُ وَمَا كُتِبَ لَهُ إِلَّا عُشْرُ صَلَاتِهِ تُسْعُهَا ثُمْنُهَا سُبْعُهَا سُدْسُهَا خُمْسُهَا رُبْعُهَا ثُلُثُهَا نِصْفُهَا

"Sesungguhnya seseorang selesai (dari shalat) dan tidaklah ditulis (pahala) baginya, kecuali sepersepuluh shalatnya, sepersembilannya, seperdelapannya, sepertujuhnya, seperenamnya, seperlimanya, seperempatnya, sepertiganya, setengahya".

Diriwayatkan oleh Abu Dawud, bahwa Hasan bin ‘Athiah Radhiyallahu 'anhu berkata : “Sesungguhnya ada dua orang berada dalam satu shalat, akan tetapi perbedaan keutamaan (pahala) antara keduanya bagaikan langit dan bumi”.

Wahai orang yang shalat, sesungguhnya shalat adalah kobaran api pertempuran bersama setan, pertempuran was-was dan bisikan-bisikan, karena kita berdiri pada tempat yang agung, paling dekatnya kedudukan (dengan Allah) dan paling dibenci setan. Kemudian setan menghiasi di depan pandangamu dengan kesenangan, menawarkan keindahan dan godaan. Dia juga mengingatkan yang engkau lupakan, sehingga dia merasa senang ketika shalatmu rusak, sebagaimana baju yang usang, rusak, tidak mendapatkan pahala dan tidak pula mendapatkan keutamaan.

Wahai orang yang shalat, barangsiapa yang menempuh metode Nabi dan meniti jalan Nabi dalam shalatnya, niscaya dia dapat memperoleh kekhusyu’an. Untuk bisa meraih khusyu` ada beberapa hal yang bisa membantunya. Yaitu orang yang akan shalat, hendaknya segera menuju masjid dengan tenang dan tidak tergesa-gesa, ia telah membersihkan pakaiannya, mensucikan badannya, mengkosongkan hatinya dari kesibukan dunia, semerbak harum badannya, meluruskan barisan dan menutup celah dalam barisan, dan ia tidak mengangkat kepalanya ke langit saat shalat, karena hal ini terlarang dan bisa menghilangkan kekhusyu’an.

Termasuk yang juga bisa menolong untuk khusyu’ dalam shalat, yaitu tidak mengganggu orang lain dengan bacaan al Qur`an, tidak shalat dengan pakaian atau baju yang ada gambarnya, tulisannya, ataupun baju berwarna-warni yang bisa mengganggunya, dan mengganggu orang lain. Begitu juga suara-suara yang berasal dari handphone yang mengganggu kaum Muslimin, sehingga merusak kekhusyu’an. Oleh karena itu janganlah membawa suara musik yang berdendang di dalam rumah-rumah Allah tercampur dengan kalam Allah. Kita meminta kepada Allah salamah dan ‘afiyah dari dosa dan kesalahan.

Dari Abu Qatadah Radhiyallahu 'anhu berkata, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

أَسْوَأُ النَّاسِ سَرِقَةً الَّذِي يَسْرِقُ صَلَاتَهُ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَكَيْفَ يَسْرِقُهَا قَالَ لَا يُتِمُّ رُكُوعَهَا وَلَا سُجُودَهَا أَوْ قَالَ لَا يُقِيمُ صُلْبَهُ فِي الرُّكُوعِ وَالسُّجُود

"Sejelek-jelek pencuri adalah orang yang mencuri shalatnya”. Mereka bertanya,”Wahai, Rasulullah. Bagaimana seseorang mencuri shalatnya?” Rasulullah menjawab,”Dia tidak menyempurnakan ruku` dan sujudnya,” atau ia (Rasulullah) berkata : “Tidak menegakkan tulang punggungnya ketika ruku’ dan sujud". [Diriwayatkan oleh Ahmad]

Termasuk hal terbesar untuk bisa tenang dan khusyu’ dalam shalat, yaitu merenungi dan meresapi makna. Ketika mengucapkan Allahu Akbar, maka renungkanlah kedalaman pemahamannya dan petunjuknya. Allah Maha Besar dari setan yang menipunya di dunia. Allah Maha Besar dari nafsu syahwat, harta, kedudukan dan anak. Maka mantapkan dan tanamkan ke dalam hati, kemudian laksanakan segala konsekwensinya.

Juga renungkanlah pahala yang besar pada setiap bacaan al Fatihah, bacaan ruku`ataupun bacaan-bacaan shalat lainnya. Renungkanlah pahala yang besar, di antaranya apabila imam mengucapkan

غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ

(bukan jalannya orang-orang yang Engkau murkai, bukan pula jalannya orang-orang yang sesat), maka para malaikat mengucapkan “Amiin”. Barangsiapa yang ucapan aminnya bersamaan dengan ucapan amin para malaikat, niscaya diampuni dosa-dosanya yang telah lalu. Begitu pula renungkanlah pahala-pahala yang agung, serta keutamaan-keutamaan besar lainnya saat berdiri, duduk, dzikir-dzikir ruku’ dan sujud. Barangsiapa yang merenunginya, dia akan yakin dengan rahmat Allah, sesembahannya.

Termasuk yang bisa mengantarkan kepada khusyu’, yaitu wasiat Rasulullah yang kekal : “Shalatlah dengan shalat orang yang akan berpisah (dengan dunia)”.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun X/1427H/2004M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______

Buang Air Kecil [Kencing] Sambil Berdiri ?

Pertanyaan.
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani ditanya : "Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam melarang buang air kecil sambil berdiri sebagaimana diriwayatkan oleh sayyidah Aisyah. Tetapi kemudian beliau buang air kecil sambil berdiri, bagaimana mengkompromikannya ?"

Jawaban.
Riwayat bahwa beliau melarang kencing sambil berdiri tidak shahih. Baik riwayat Aisyah ataupun yang lain.

Disebutkan dalam sunan Ibnu Majah dari hadits Umar, beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata :

"Artinya : Janganlah engkau kencing berdiri".

Hadits ini lemah sekali. Adapun hadits Aisyah, yang disebut-sebut dalam pertanyaan tadi sama sekali tidak berisi larangan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kencing sambil berdiri. Hadits tersebut hanya menyatakan bahwa Aisyah belum pernah melihat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kencing sambil berdiri.

Kata Aisyah Radhiyallahu 'anha.

"Artinya : Barangsiapa yang mengatakan pada kalian bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah buang air kecil sambil berdiri maka janganlah kalian membenarkannya (mempercayainya)".

Apa yang dikatakan oleh Aisyah tentu saja berdasarkan atas apa yang beliau ketahui saja.

Disebutkan dalam shahihain dari hadits Hudzaifah bahwa beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam melewati tempat sampah suatu kaum, kemudian buang air kecil sambil berdiri.

Dalam kasus-kasus seperti ini ulama fiqih berkata : "Jika bertentangan dua nash ; yang satu menetapkan dan yang lain menafikan, maka yang menetapkan didahulukan daripada yang menafikan, karena ia mengetahui sesuatu yang tidak diketahui oleh pihak yang menafikan.

Jadi bagaimana hukum kencing sambil berdiri ?

Tidak ada aturan dalam syari'at tentang mana yang lebih utama kencing sambil berdiri atau duduk, yang harus diperhatikan oleh orang yang buang hajat hanyalah bagaimana caranya agar dia tidak terkena cipratan kencingnya. Jadi tidak ada ketentuan syar'i, apakah berdiri atau duduk. Yang penting adalah seperti apa yang beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam sabdakan.

"Maksudnya : Lakukanlah tata cara yang bisa menghindarkan kalian dari terkena cipratan kencing".

Dan kita belum mengetahui adakah shahabat yang meriwayatkan bahwa beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah kencing sambil berdiri (selain hadits Hudzaifah tadi, -pent-). Tapi ini bukan berarti bahwa beliau tidak pernah buang air kecil (sambil berdiri, -pent-) kecuali pada kejadian tersebut.

Sebab tidak lazim ada seorang shahabat mengikuti beliau ketika beliau Shalallahu 'alaihi wa sallam buang air kecil. Kami berpegang dengan hadits Hudzaifah bahwa beliau pernah buang air kecil sambil berdiri akan tetapi kami tidak menafikan bahwa beliaupun mungkin pernah buang air kecil dengan cara lain.

[Disalin dari buku Majmu'ah Fatawa Al-Madina Al-Munawarah, Edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Albani, Penulis Muhammad Nashiruddin Al-Albani Hafidzzhullah, Penerjemah Adni Kurniawan, Penerbit Pustaka At-Tauhid]


BOLEHKAH BUANG AIR KECIL SAMBIL BERDIRI?

Oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz


Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Bolehkah seseorang buang air kecil sambil berdiri ? Perlu diketahui bahwa tidak ada bagian dari tubuh atau pakaian yang terkena najis tersebut ?

Jawaban
Boleh saja buang air kecil sambil berdiri, terutama sekali bila memang diperlukan, selama tempatnya tertetutup dan tidak ada orang yang dapat melihat auratnya, dan tidak ada bagian tubuhnya yang terciprati air seninya. Dasarnya adalah riwayat dari Hudzaifah Radhiyallahu 'anhu, bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa salalm pernah menuju sebuah tempat sampah milik sekelompok orang, lalu beliau buang air kecil sambil berdiri. Hadits ini disepakati keshahihannya. Akan tetapi yang afdhal tetap buang air kecil dengan duduk. Karena itulah yang lebih sering dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, selain juga lebih dapat menutupi aurat dan lebih jarang terkena cipratan air seni.

[Disalin dari kitab Al-Fatawa Juz Awwal edisi Indonesia Fatawa bin Baaz I, Penulis Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz, Penerjemah Abu Umar Abdullah, Penerbit At-Tibyan - Solo]


HUKUM TEMPAT KENCING YANG BERGANTUNG

Oleh
Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan


Pertanyaan.
Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan ditanya : Di tempat kami bekerja ada tempat kencing yang bergantung. Sebagian teman menggunakannya dengan memakai celana panjang dan kencing sambil berdiri yang tidak menjamin bahwa air urine tidak mengenai celana panjang. Pada suatu hari saya memberi nasehat kepadanya, ia menjawab "Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak pernah melarang hal tersebut". Saya mohon nasehat dan petunjuk.

Jawaban
Boleh bagi seseorang kencing sambil berdiri, apabila bisa terjaga dari percikan air kencing ke badan dan pakaiannya, karena Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah kencing sambil berdiri si suatu saat [1]. Terutama apabila hal tersebut sangat dibutuhkan karena sempitnya pakaiannya atau karena ada penyakit di tubuhnya, namun hukumnya makruh kalau tidak ada kebutuhan.

[Kitab Ad-Da'wah 8, Alu Fauzan 3/46]

[Disalin dari kitab Al-Fatawa Asy-Syar'iyyah Fi Al-Masa'il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Penyusun Khalid Al-Juraisy, Penerbit Darul Haq]
_________
Foote Note
[1] Hadits Riwayat Al-Bukhari dalam Ath-Thaharah 224 dan Muslim dalam Ath-Thaharah 273

Meningkatkan Nilai Ibadah Seorang Muslim

Bulan suci Ramadhan telah berlalu. Pelipatgandaan pahala, kemudahan dari Allah di bulan Ramadhan pergi seiring dengan kepergian tamu kita, bulan Ramadhan. Nuansa Ramadhan yang istimewa pun lewat. Tapi kaum muslimin mesti TETAP berlomba untuk menggapai rahmat dan hidayah Allah melalui peningkatan ibadah dan doa kepada-Nya, di bulan-bulan lainnya. Hanya saja, terkadang seorang muslim dihadapkan pada sekian banyak amalan yang ingin ia kerjakan semuanya. Namun kadang-kadang kesempatan, waktu dan fisik tidak memungkinkannya untuk menuntaskan segala amalan sholeh yang ia inginkan. Apalagi bagi mereka yang sudah berkeluarga, mempunyai istri (atau suami) dan anak-anak.

Dalam kondisi demikian, dipandang perlu agar seorang muslim mengetahui beberapa kaedah dalam beramal sholeh untuk memudahkan bagi dirinya dalam memilih amalan yang lebih baik dan berkualitas, lebih dicintai oleh Allah l dan mengundang pahala yang lebih besar dibandingkan amalan lainnya.
Urgensi aspek ini:

1.Perhatian Generasi Salaf Terhadap Masalah Ini.
Topik ini menjadi fokus perhatian ekstra dari generasi Salaf. Hasrat mereka untuk mendalami permasalahan ini sangat besar. Para sahabat menjadi teladan dengan melontarkan banyak pertanyaan kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Generasi tabi'in dan para tokoh ulama Islam pun memberi porsi perhatian yang besar. Kongkretnya, tercermin dalam penulisan buku dan pembakuan kaedah dalam materi ini.

2. Ekonomis Dalam Beramal
Seorang muslim yang memahami bab ini, akan meraih kebaikan besar dalam masa yang singkat dan modal yang minim, yang dikerjakan oleh orang lain dengan waktu panjang dan tenaga besar. Hal ini penting sekali diketahui, terutama pada akhir-akhir ini yang begitu banyak kesibukan dan halangan untuk bisa beribadah dengan frekuensi yang banyak.

3. Penyimpangan Yang Dilakukan Sebagian Firqah Dalam Aspek Ini.
Sebagian firqah menyimpang dari garis sunnah lantaran kegandrungan mereka kepada bid'ah daripada sunnah Nabi. Amalan sunnah lebih diutamakan daripada kewajiban. Lebih berbahaya lagi ketika amalan bid'ah lebih disukai daripada ajaran Islam.

4. Bahaya Jerat Syaithan Terhadap Sebagian Ahli Ibadah.
Sebagian ahli ibadah tertipu oleh bisikan syaithan dengan mengamalkan amalan yang kualitasnya di bawah.

Berikut ini beberapa faktor yang bisa mempengaruhi peningkatan kualitas amalan ibadah:

TINGKATKAN KEIKHLASAN DAN PERBAIKI NIAT
Ikhlas dalam amalan merupakan tonggak asasi dalam setiap amalan sholeh. Disamping itu, juga tingkatkan unsur mutaba'ah (mengikuti) Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam beribadah. Dua hal ini merupakan syarat diterimanya amalan seseorang. Dalilnya, Allah berfirman:

فَمَنْ كَانَ يَرْجُوا لِقَآءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلاً صَالِحًا وَلاَيُشْرِكُ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا

"Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabbnya, hendaknya ia mengerjakan amalan yang sholeh dan janganlah ia mempersekutukan seseorang pun dalam beribadah kepada Rabbnya". [1]

Ibnu Katsir berkata: ‘(Yaitu orang yang ) mengharapkan pahala, dan ganjaran dariNya, [فَلْيَعْمَلْ عَمَلاً صَالِحًا / hendaknya ia mengerjakan amalan yang sholeh ] yaitu amalan yang bertepatan dengan petunjuk syariat, [ وَلاَيُشْرِكُ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا / dan janganlah ia mempersekutukan seseorang pun dalam beribadah kepada Rabbnya ] yaitu amalan yang ditujukan untuk mendapatkan wajah Allah semata, tidak ada sekutu bagiNya. Dua hal ini adalah dua syarat diterimanya amalan. Mesti murni karena Allah, lagi cocok dengan aturan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam". [2]

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.

وَاللهُ يُضَاعِفُ لِمَن يَشَآءُ

"Dan Allah melipatgandakan (pahala) bagi yang Dia kehendaki" [3].

Ibnu Katsir menjelaskan : "Berdasarkan keikhlasannya dalam beramal". [4]

Syaikh As Sa'di berkata: "Itu bergantung pada kekuatan iman dan kesempurnaan ikhlas yang terdapat pada orang yang berinfak"[5]

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا أَحْسَنَ أَحَدُكُمْ إِسْلَامَهُ فَكُلُّ حَسَنَةٍ يَعْمَلُهَا تُكْتَبُ لَهُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعِ مِائَةِ ضِعْفٍ وَكُلُّ سَيِّئَةٍ يَعْمَلُهَا تُكْتَبُ لَهُ بِمِثْلِهَا

"Jika salah seorang dari kalian telah memperindah Islamnya, maka setiap kebaikan yang diamalkannya akan dicatat baginya dengan sepuluh kali lipat sampai tujuh ratus lipat. Dan setiap kejelekan yang ia kerjakan akan dicatat baginya satu kejelekan semisalnya". [6]

Ibnu Rajab berkata tentang hadits di atas : "Pelipatgandaan kebaikan dengan sepuluh kali lipat pasti terjadi. Sedangkan tambahan yang lebih dari itu tergantung pada kebaikan nilai Islam seseorang, dan keikhlasan niatnya, serta urgensi dan keutamaan amalan tersebut"[7].

Sebagai pelengkap dalam menetapkan naiknya tingkatan amalan yang dibarengi kekuatan ikhlas, adanya beberapa nash yang menyatakan keutamaan amalan yang dilakukan secara tersembunyi dibandingkan amalan yang dilakukan di hadapan khalayak. Allah Subhanhu wa Ta'ala berfirman:

إِن تُبْدُوا الصَّدَقَاتِ فَنِعِمَّا هِيَ وَإِن تُخْفُوهَا وَتُؤْتُوهَا الْفُقَرَآءَ فَهُوَ خَيْرُُ لَّكُمْ

"Jika kalian memperlihatkan sedekah maka itu baik. Dan jika kalian menyembunyikan sedekah dan memberikannya kepada orang-orang fakir, niscaya lebih baik …" [8].

Ibnu Katsir berkata: "Dalam ayat ini terkandung petunjuk bahwa menyembunyikan sedekah lebih baik daripada memperlihatkannya. Sebab lebih jauh dari noda riya`. Kecuali bila dengan memperlihatkan saat mengeluarkan sedekah ada unsur maslahat yang pasti"[9].

Ibnul Qayyim menjelaskan rahasia mengapa sedekah yang dilakukan dengan sembunyi lebih baik dengan berkata: "Adapun memberikannya kepada orang-orang fakir, jika dilakukan dengan cara tersembunyi mengandung beberapa manfaat, menutupi jati dirinya (pemberi sedekah) , dan tidak membuat malu si penerima di hadapan orang banyak, tidak menempatkan dirinya sebagai orang yang sedang direndahkan kehormatannya, dan supaya orang tidak melihat bahwa tangannya sufla, juga agar orang tidak berkomentar dirinya (sang penerima) tidak ada harganya sama sekali sehingga mereka enggan untuk berinteraksi dan melakukan tukar-menukar dengannya. Ini adalah manfaat tambahan selain berbuat baik kepadanya dengan memberi sedekah, di samping penjagaan aspek ikhlas.

Hal ini berlaku pada ibadah yang sifatnya tathawu' (sunnah).

Dari Bustham bin Huraits, ia berkata: ‘Adalah Ayyub pernah terharu (karena takut kepada Allah), sehingga air matanya keluar. Namun ia ingin menyembunyikannya. Maka ia memegangi hidungnya, bersikap seolah-oleh orang yang sedang mengalami influenza. Jika ia khawatir , air matanya semakin deras, maka ia beranjak pergi"[10]

TINGKATKAN PERHATIAN PADA ASPEK MUTABA'AH KEPADA NABI SHALLALLAHU 'ALAIHI WA SALLAM DALAM BERIBADAH.
Maksud dari mutaba'ah dalam beramal adalah "menjalankan perintah Nabi dalam suatu amalan dan melaksanakannya sesuai dengan aturan syariat yang dahulu dilakukan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ".

Sementara Syaikhul Islam menjelaskannya dengan :

أنْ يُفْعَلَ مِثْلَ مَا فَعَلَ عَلَى الْوَجْهِ الَّذِيْ فَعَلَ

"Hendaknya dikerjakan persis dengan yang dilakukan Nabi sesuai dengan aturan pelaksanaannya"[11].

Jadi mutaba'ah kepada Nabi harus memenuhi dua unsur:
a. Kesesuaian dengan Nabi dalam pelaksanaan, persis dengan tata cata beliau
b. Kesesuaian dalam niat, ditujukan untuk beribadah
Dalam point ini, maksudnya adalah penjelasan peningkatan nilai amalan yang lahir sebagai dampak dari mutaba'ah.

Topik mutaba’ah adalah pembahasan yang sangat luas. Hakikatnya, berusaha mengerjakan seluruh aturan syariat atau mengikuti petunjuk Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang umum. Jalan perealisasiannya, melalui kesempurnaan memahami agama, kekuatan tekad yang penuh dalam beramal -dengan bantuan dari Allah Subhanahu wa Ta'ala - ada beberapa prinsip dalam mutaba’ah yang terangkum dalam beberapa point berikut ini:

Mutaba’ah kepada Nabi dalam keseluruhan ibadah, tidak hanya menyibukkan dengan salah satu jenis ibadah saja dengan menelantarkan ibadah lainnya. Tapi ‘namanya selalu tercantum’ dalam setiap ibadah. Dengan kata lain, berusaha mendekatkan diri kepada Allah dengan seluruh cabang iman qalbiyyah, amaliyyah maupun qauliyyah

Disebutkan dalam hadits keutamaan orang-orang yang mendekatkan diri kepada Allah dengan berbagai amaliah, mereka akan dipanggil dari berbagai pintu syurga. Setelah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menceritakan orang-orang yang dipanggil dari pintu yang sesuai dengan ibadah yang ia tekuni, Abu Bakar Radhiyallahu 'anhu bertanya:

فَهَلْ يُدْعَى أَحَدٌ مِنْ تِلْكَ الْأَبْوَابِ كُلِّهَا

"Apakah ada seseorang yang dipanggil dari seluruh pintu?"

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab:

نَعَمْ وَأَرْجُو أَنْ تَكُونَ مِنْهُمْ

"Ya, dan aku berharap engkau termasuk mereka, wahai Abu Bakar" [12].

Mutaba’ah kepada Nabi dalam aspek kontinyuitas amalan.
Mutaba’ah kepada Nabi dengan mengerjakan amalan tanpa unsur memberatkan diri (takalluf).

Oleh karena itu, beliau melarang shaumud dahri (puasa setahun penuh) atau meninggalkan perkawinan, makanan, tidur dengan dalih memfokuskan diri untuk beribadah kepada Allah. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ الدِّينَ يُسْرٌ وَلَنْ يُشَادَّ الدِّينَ أَحَدٌ إِلَّا غَلَبَهُ

"Sesungguhnya agama ini mudah. Tidak ada orang yang bersikap keras dengannya, kecuali akan terkalahkan.." [13]

Mutaba’ah kepada Nabi dengan melakukan keseimbangan (balancing) terhadap hak-hak yang ada, tidak menyisihkan salah satu hak demi pemenuhan hak lainnya. Tapi memberikan hak kepada para pemiliknya. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

فَإِنَّ لِجَسَدِكَ عَلَيْكَ حَقًّا وَإِنَّ لِعَيْنِكَ عَلَيْكَ حَقًّا وَإِنَّ لِزَوْجِكَ عَلَيْكَ حَقًّا وَإِنَّ لِزَوْرِكَ عَلَيْكَ حَقًّا

"Maka, sesungguhnya bagi jasadnya ada hak atasmu, bagi matamu ada hak atasmu dan bagi istrimu ada hak atasmu dan bagi tamumu ada hak atasmu" [14]

UTAMAKAN & BERIKAN PERHATIAN EKSTRA TERHADAP AMALAN YANG WAJIB
Amalan yang wajib lebih utama daripada amalan yang sunnah. Demikian juga, memperhatikan ibadah yang wajib lebih dicintai oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala daripada ibadah yang sunnah.

Abu Hurairah meriwayatkan, ia berkata: Rasulullah Sh bersabda:

إِنَّ اللَّهَ قَالَ مَنْ عَادَى لِي وَلِيًّا فَقَدْ آذَنْتُهُ بِالْحَرْبِ وَمَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِي بِشَيْءٍ أَحَبَّ إِلَيَّ مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ ُ

"Sesungguhnya Allah berfirman: ‘Barangsiapa yang memusuhi waliKu, maka Aku telah mengobarkan peperangan dengannya. Dan tidaklah ada seorang hambaKu yang mendekatkan dirinya kepada-Ku, dengan sesuatu yang lebih Aku cintai daripada amalan yang Aku wajibkan kepadanya…' [15]

Ibnu Hajar berkata: "Dapat disimpulkan dari hadits tersebut, bahwa melaksanakan amalan yang wajib merupakan tindakan yang paling dicintai oleh Allah" [16].

Abu Bakar pernah berwasiat kepada Umar dengan mengatakan:

وَأنَّهُ لاَ يَـقـْـبَلُ نَافِلَةً حَتَّى تُؤَدَّى الْفَريِْضَة

"Sesungguhnya Allah tidak akan menerima ibadah sunnah kecuali apabila amalan ibadah yang wajib telah ditunaikan"[17].

Ibnu Taimiyah menegaskan pula: "Oleh karena itu, wajib bertaqarrub kepada Allah dengan amalan-amalan yang wajib sebelum menjalankan amalan yang sunnah. Mendekatkan diri kepada Allah dengan amalan yang sunnah terhitung sebagai ibadah jika amalan yang wajib sudah dikerjakan"[18].

Al Hafizh Ibnu Hajar menukil dari sebagian ulama besar zaman dahulu, mereka menetapkan :

مَنْ شَغَلَهُ الْفَرْضُ عَنِ النَّفْلِ فَهُوَ مَعْذُورٌ وَ مَنْ شَغَلَهُ النَّفْلُ عَنِ الْفَرْضِِ فَهُوَ مَغْرُورٌ

"Barangsiapa disibukkan dengan perkara wajib sehingga melupakan perkara sunnah, maka ia termaafkan. Barangsiapa disibukkan dengan perkara sunnah sehingga perkara wajib terbengkalai, maka ia adalah orang yang tertipu" [19]

KERJAKAN SATU AMALAN SHOLEH DENGAN KONTINYU
Faktor lain yang bisa meningkatkan nilai amaliah seseorang adalah al mudawamah (kontinyuitas dalam beramal). Amalan yang sedikit, tapi kontinyu lebih utama dari amalan yang putus-putus, tidak dikerjakan secara terus-menerus, kendati banyak.

Imam Muslim rahimahullah meriwayatkan hadits dari ‘Aisyah Radhiyallahu 'anha, ia berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

أَحَبُّ الْأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى أَدْوَمُهَا وَإِنْ قَلَّ

"Amalan yang paling dicintai Allah adalah yang paling kontinyu dikerjakan, meskipun sedikit" [20].

Demikian pula, ini merupakan kebiasaan Rasulullah. Amaliah beliau sehari-hari diimah (kontinyu), yaitu dikerjakan secara terus menerus, tidak putus darinya. Dan beliau menganjurkan umatnya untuk itu, memperingatkan dari amalan-amalan yang memberatkan yang tidak kuat dipikul oleh seseorang. Sebab hal itu rawan sekali untuk ditinggalkan sehingga tidak berlangsung lama.

Dalam hadits lain, beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ عَلَيْكُمْ مِنْ الْأَعْمَالِ مَا تُطِيقُونَ

"Wahai manusia, kerjakanlah amalan yang kalian sanggupi" [21]

Al Qadhi ‘Iyadh menerangkan sabda beliau dengan: Kerjakanlah amalan yang kalian sanggup untuk mengerjakannya dengan kontinyu [22]. Sementara Imam An Nawawi rahimahullah menyimpulkan dari hadits di atas: Di dalamnya terkandung anjuran untuk kontinyu dalam beribadah, dan amalan yang sedikit (tapi) kontinyu lebih baik daripada amalan banyak tapi ditinggalkan [23].

Para ulama telah memaksimalkan daya pikir untuk menyibak rahasia mengapa amalan sedikit tapi kontinyu dapat lebih utama dan mulia dibandingkan amalam lain. Di antara keterangan mereka:

Al Qurthubi berkata: "Sebabnya, amalan yang ringan, bisa dikerjakan dengan berkesinambungan dan hati yang giat, sehingga pahala semakin banyak lantaran terjadinya pengulangan amalan tersebut yang disertai oleh konsentrasi pikirannya. Berbeda dengan amalan yang berat, biasanya disertai dengan terganggunya konsentrasi dan menyebabkan seseorang meninggalkannya" [24].

Sementara itu, Imam An Nawawi memberikan alasan: "Amalan sedikit yang langgeng itu lebih baik dari amalan banyak tapi putus di jalan, karena dengan kontinyu dalam satu amalan yang sedikit, bararti ketaatannya kepada Allah juga berlangsung terus-menerus, demikian juga dzikir, muraqabah, niat, keikhjlasan serta sikapnya menghadapkan dirinya kepada Allah berjalan terus. Sehingga yang sedikit tapi kontinyu akan membuahkan hasil yang berlipat-lipat daripada amalan banyak tapi ditinggalkan".

Adapun Ibnul Jauzi mengajukan keterangan, bahwa orang yang meninggalkan amalan setelah pernah ia lakukan bagaikan orang yang berpaling darinya sehingga pantas untuk dicela. Dan alasan kedua, orang yang senantiasa beramal, berarti ia senantiasa melakukan penghambaan diri kepada Allah. Dan orang yang sering mengetuk di satu waktu setiap harinya tidak sama dengan orang yang menunggu pintu seharian kemudian ia tinggalkan’

TINGKATKAN KAPASITAS ILMIAH ANDA
Di antara aspek yang bisa meningkatkan kualitas amaliah seseorang adalah, kemuliaan dan kedudukannya di sisi Allah.

Rasulullah bersabda:

لَا تَسُبُّوا أَصْحَابِي فَلَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا مَا بَلَغَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَلَا نَصِيفَهُ

"Janganlah kalian mencela para sahabatku. Seandainya salah seorang dari kalian berinfak emas sebesar gunung Uhud, niscaya tidak akan menyamai pahala infak mereka sebesar satu mud ataupun setengahnya".

Al Baidhawi menerangkan hadits ini dengan berkata: Makna hadits ini, salah seorang dari kalian tidak akan mampu menggapai dengan infak sebesar gunung Uhud yang berupa emas, keutamaan dan pahala yang diraih oleh salah seorang mereka (sahabat) dengan infak satu mud atau setengahnya. Sebab perbedaan ini, kondisi yang menyertai orang yang lebih mulia yang berupa kekuatan ikhlas yang lebih tinggi dan kejujuran niat mereka.

Dengan ini, menjadi jelas keutamaan para sahabat dan amalan yang mereka lakukan dibandingkan amalan selain mereka.

Sebagian ulama telah menyinggung beberapa sebab pengutamaan dalam kaedah ini. meskipun melalui nash-nash yang ada, peningkatan nilai amaliah tergantung dari kedudukan orang yang beramal, tapi ada beberara rahasia di belakang itu, yang telah disinggung oleh sebagian ulama.

Di antaranya: Keutamaan yang mereka raih itu berangkat dari kondisi batiniah mereka yang mengalahkan orang lain. Seperti yang dikatakan Ibnu Mas’ud: Kalian itu lebih banyak puasanya dibandingkan para sahabat Muhammad, tapi mereka tetap lebih baik dari kalian. Mereka bertanya: Apa sebabnya?’. Ibnu Mas’ud menjawab:

كَانُوا أَزْهَدَ مِنْـكـُمْ فِي الدُّنـيَا وَأرْغَبَ فِي الأخِرَة

"Mereka (para sahabat) lebih zuhud kepada dunia dan lebih berharap kepada akhirat daripada kalian".

Kedua, lantaran mereka lebih paham terhadap agama, dan itu otomatis berpengaruh pada kualitas ibadah mereka sehingga dilaksanakan dengan cara yang lebih baik.

Ini makna yang terkandung pada pernyataan Abu Darda`: Dan satu biji sawi kebaikan orang yang bertakwa dan yakin, lebih besar, lebih utama dan lebih berat timbangannya seperti beratnya gunung-gunung dibandingkan ibadah orang-orang yang tertipu’.

UTAMAKAN AMALAN SOSIAL DARIPADA AMALAN YANG MANFAATNYA TERBATAS PADA PRIBADI SEMATA
Ditinjau dari sudut kemanfaatannya bagi orang lain, amalan sholeh terkualifikasikan menjadi dua:

A. Amalan yang hanya terbatas kemanfaatannya bagi pelakunya saja, tidak bisa dinikmati oleh orang lain. Misalnya seluruh ibadah yang menjadi kendaraan seorang hamba untuk mendekatkan diri kepada Allah tanpa ada kaitan dengan makhluk.

B. Amalan yang manfaatnya bisa dinikmati oleh orang lain, sehingga maslahat keagamaan dan duniawi mereka terpenuhi.

Dalam masalah pemilahan amalan sholeh, para ulama telah menetapkan bahwa amalan sholeh yang bersifat sosial lebih utama dibandingkan amalan yang manfaatnya terbatas pada pelakunya sendiri. Sebabnya, terwujudnya maslahat serta dampak positif yang dapat dirasakan oleh orang lain. Dasar penetapan mereka adalah semua dalil yang menunjukkan ketinggian nilai amal sholeh yang bersifat sosial, anjuran untuk melakukannya serta sanjungan bagi para pelakunya.

Di antaranya :

مَنْ دَعَا إِلَى هُدًى كَانَ لَهُ مِنْ الْأَجْرِ مِثْلُ أُجُورِ مَنْ تَبِعَهُ
لَا يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا

"Barangsiapa menyeru kepada hidayah, niscaya ia mendapatkan pahala sebesar pahala orang-orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun.." [al hadits] [25]

Hadits di atas, dengan jelas menggambarkan besarnya keutamaan menyalurkan dan mengajarkan ilmu kepada orang lain. Dan nash-nash yang senada dengan makna hadits di atas sangat banyak.

Demikian juga, terdapat dalil yang berisi sanjungan bagi orang-orang yang sering berbuat baik untuk orang lain, mereka adalah makhluk pilihan di sisi Allah. Nabi bersabda:

خَيْرُ الْأَصْحَابِ عِنْدَ اللَّهِ خَيْرُهُمْ لِصَاحِبِهِ وَخَيْرُ الْجِيرَانِ عِنْدَ اللَّهِ خَيْرُهُمْ لِجَارِهِ

"Sebaik-baik kawan di sisi Allah, ialah yang paling bermanfaat bagi kawannya. Dan sebaik-baik tetangga adalah tetangga yang paling baik bagi tetangganya" [26].

Dari Ibnu Abbas, Rasulullah bersabda:

خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لِأَهْلِهِ وَأَنَا خَيْرُكُمْ لِأَهْلِي

"Sebaik-baik kalian adalah orang yang terbaik bagi keluarganya. Dan aku adalah orang yang terbaik bagi keluargaku"[27].

Nabi pernah bertanya kepada para sahabat tentang orang-orang yang baik dan orang-orang yang buruk sampai tiga kali. Namun mereka diam. Maka beliau menerangkan:

خَيْرُكُمْ مَنْ يُرْجَى خَيْرُهُ وَيُؤْمَنُ شَرُّهُ وَشَرُّكُمْ مَنْ لَا يُرْجَى خَيْرُهُ وَلَا يُؤْمَنُ شَرُّهُ

"Sebaik-baik kalian adalah orang yang diharapkan kebaikannya dan dirasa aman keburukannya. Dan sejelek-jelek kalian adalah orang yang tidak pernah diharapkan kebaikannya dan tidak dirasa aman keburukannya".

Hadits-hadits di atas mengindikasikan bahwa manusia pilihan di sisi Allah adalah mereka yang terbaik di mata manusia. Dan yang paling utama dari kalangan mereka di sisi Allah, adalah insan yang paling bermanfaat bagi orang lain.

Kaidah ini sudah diaplikasikan oleh generasi Salaf. Mereka mengutamakan amalan yang bermanfaat bagi orang lain daripada amalan sholeh yang bersifat pribadi.

Majjaad berkata: ‘Aku pernah menemani perjalanan Ibnu Umar untuk membantunya tapi justru dialah yang melayaniku”. Sebagian dari mereka, kalangan Salaf, bahkan mengajukan syarat saat akan melakukan perjalanan bersama dengan kawan-kawan lain agar dia saja yang melayani mereka di tengah perjalanan. Di antara mereka, ‘Amir bin Abdi Qais, ‘Amr bin Utbah bin Farqad, orang-orang yang dikenal dengan ketekunan mereka dalam beribadah.

Meskipun melayani orang lain itu makan tenaga dan waktu, tapi ternyata mereka lebih mengutamakannya. Seandainya menurut mereka ibadah qashirah itu lebih afdhal sudah mesti mereka tidak akan menyibukkan diri dengan amalan sosial tersebut. Padahal mereka adalah orang-orang yang faqih dan sangat antusias melakukan kebaikan. Artinya, amalan sosial itu lebih berharga dan bernilai menurut mereka di sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala.

Ibnu Rajab menetapkan: "Berbuat baik kepada teman perjalanan lebih baik daripada ibadah qashirah (yang manfaatnya hanya direguk secara pribadi), apalagi jika seseorang punya keinginan sendiri untuk menservis kawan-kawannya" [28]. (Red).

Petikan dari Kitab Tajridu Al Ittiba’I Fi Bayani Asbabi Tafadhuli Al A’mali karya Syaikh DR. Ibrahim bin ‘Amir Ar Ruhaili, Maktabah Ulum Wal Hikam Madinah Munawwarah, Cet. I TH. 1424 H.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun IX/1426H/2005M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
________
Footnote
[1]. Al Kahfi : 110.
[2]. Tafsir Ibnu Katsir : 5/205.
[3]. Al Baqarah : 261
[4]. Tafsir Ibnu Katsir: 1/693
[5]. Tafsir As Sa’di : 1/157.
[6]. Shahih Al Bukhari (Fathul Bari: 1/100 hadits no: 42), Shahih Muslim : 1/118 no: 129.
[7]. Jami’ul Ulumi Wal Hikam : 1/213.
[8]. Al Baqarah: 271
[9]. Tafsir Ibnu Katsir : 1/701.
[10]. Dzammu Ar Riya` hlm. 180.
[11]. Majmu’ Al Fatawa: 1/280
[12]. HR. Bukhari (Fathul Bari : 7/19 no: 3666), Muslim (2/711 no: 1027).
[13]. HR. Bukhari (Fathul Bari : 1/93 no: 39).
[14]. Diriwayatkan Bukhari (Fathul Bari: 10/531 no: 6134), Muslim : 2/813
[15] HR. Bukhari no: 6502.
[16]. Fathul Bari : 11/343
[17]. Diriwayatkan Abu Nu’aim dalam Al Hilyah : 1/36
[18]. Majmu’ Al Fatawa : 17/133
[19]. Fathul Bari : 11/442
[20]. HR. Muslim : 1/541
[21]. HR. Bukhari (Fathul Bari : 1/101 no: 43), Muslim : 1/542 no: 758
[22]. Ikmal Al Mu’lim : 3/147
[23]. Syarah Shahih Muslim : 6/71
[24]. Al Mufhim : 2/413
[25]. HR. Muslim no: 2674.
[26] HR. At Tirmidzi no: 1944, Al Hakim dan berkata: ‘Shahih berdasarkan syarat Syaikhan’ dan disepakati oleh Adz Dzahabi
[28]. HR. Ibnu Majah no: 1977 (Ash Shahihah: 285).
Lathaiful Ma’arfi hlm. 411.